Sabtu, 14 Juni 2014

Bab 12 Cuplikan Pengalaman, Tahta Untuk Rakyat

Tahta Untuk Rakyat, adalah buku koleksi ayahku. Buku ini diterbitkan oleh PT Gramedia pada tahun 1982.
Ini buku bercerita tentang Sultan Hamengku Buwono IX, Raja Jogja. Bagi kalian yang membutuhkan, berikut aku ketikkan kembali.
semoga bermanfaat
salam nalasjebang .... merdeka!

Delfaji Amardika

Bab 12
Cuplikan Pengalaman

Nyaris Terbunuh

Bulan-bulan pertama sejak kemerdekaan RI diproklamirkan merupakan waktu yang penuh kobaran api perjuangan. Para pemuda dan barisan rakyat di mana-mana terus mempersenjatai diri dengan apa saja yang dapat diperoleh. Pihak resmi di Jakarta menunggu kedatangan pasukan Sekutu yang ditetapkan untuk menjalankan tugas di Indonesia. Ternyata kedatangan mereka ini terlambat karena pasukan Inggris yang ditugaskan mengalami kesulitan teknis. Dengan demikian baru pada 8 September 1945 diterjunkan tujuh perwira sandi Inggris sebagai orang asing pertama yang mendarat di bumu Indonesia Merdeka. Seminggu kemudian, yaitu pada 14 September 1945, barulah datang rombongan Sekutu yang sebenarnya dengan menumpang kapal "Cumberland", merapat di pelabuhan Tanjung Priok.

Salah satu pasukan Sekutu yang berada di bawah pimpinan Letjen Christison terdiri dari tiga divisi India, yaitu divisi ke-5, 23 dan 26. Di antara pasukan-pasukan itu terdapat juga inti dari Markas Besar Tentara Belanda yang disertai satu kompi tentara Ambon. Sesungguhnya untuk menguasai keamanan dan ketertiban di seluruh kawasan Indonesia waktu itu diperlukan enam divisi tentara, tetapi Inggris tidak mempunyai pasukan sebanyak itu. Dan divisi-divisi Inggris itu pada kenyataannya terdiri dari orang-orang Gurkha yang cukup ganas dalam menjalankan gerakan militernya di Indonesia.

Setelah tiba di Indonesia, Divisi India ke-23 pada 14 Oktober 1945 berhasil menguasai sumber air minum di Bogor dan menyusup di Depok untuk membebaskan orang-orang Belanda yang ditawan di daerah ini. Hal yang serupa juga terjadi di Jawa Tengah, dari Semarang divisi India masuk ke Magelang lewat Ambarawa; juga di Jawa Timur melalui pelabuhan Surabaya.

Pada akhir Oktober 1945 terjadi beberapa kali insiden bersenjata di Surabaya yang kemudian memuncak sampai meletus perang besar pada tanggal 10 Noprmber 1945, suatu pertempuran yang kini diperingati sebagai Hari Pahlawan. Pada waktu itu di Yogya berlangsung Kongres Pemuda, yang sebelum usai bubar karena pesertanya menuju ke Surabaya untuk ikut serta dalam pertempuran front Surabaya.

Dalam suasana hangat dengan latar belakang kejadian seperti dilukiskan di atas, pernah pada suatu hari Sultan Hamengku Buwono IX mengalami peristiwa di mana ia benar-benar nyaris terbunuh. Dan agaknya hanya keajaiban yang membuat ia selamat kembali di Yogya.

Dengan tujuan menengok sejumlah pemuda Yogya yang ikut bertempur di front Surabaya, Hamengku Buwono IX bersama tiga orang lainnya naik mobil menuju Surabaya. Hari telah malam, di mana-mana tampak suasana panas. Mereka baru saja melewati kota Madiun ketika tiba-tiba dihentikan oleh sekelompok orang muda. Orang-orang tersebut berpakaian seperti warok (jagoan) Ponorogo, berikat kepala warna merah, bersenjata bambu runcing dan tampak sangat bringas. Mereka berteriak: "Stop! Stop! Allahu'akbar! Allahu'akbar!"

Langsung mereka bertanya: "Dorodjatun mana?"

Dijawab oleh rombongan dari Yogya: Dia di Keraton Yogya! Kami baru saja dari sana!"

Menurut pimpinan kelompok ini mereka sedang mencari Dorodjatun, yang menurut kabar sedang sedang menuju Jawa Timur. Alasan mereka,katanya, mau meminjam sebuah pusaka untuk keperluan menghadapi Belanda. Kemudian rombongan Yogya ditanya seorang demi seorang, siapa namanya. Mungkin orang itu juga sudah sedikit curiga, karena sambil bercakap ia memandang terus ke arah Hamengku Buwono IX. Mereka bertanya kepada Hamengku Buwono IX: "Namamu siapa?"

"Saya Suyono," kata Hamengku Buwono IX.

Entah mengapa, setelah merasa puas bertanya dan mengamati rombongan dari Yogya akhirnya mereka diijinkan meneruskan perjalanan. Rupanya kelompok tersebut tak begitu mengenal wajah Sultan Hamengku Buwono IX sehingga rombongan Yogya dibolehkan jalan terus. Langsung mereka menuju Mojokerto dan di sana sudah ditunggu oleh Gubernur Jawa Timur waktu itu, Pak Suryo.

Ketika itu Surabaya telah genting sskali keadaannya sehingga Gubernur Suryo tak memperbolehkan Hamengku Buwono IX masuk kota. Tetapi dengan berbagai cara mereka berhasil menemui para pemuda Yogya yang sedang aktif di front Surabaya.

Tak lama sesudah itu Hamengku Buwono IX dan rombongan kembali ke Jawa Tengah; dari Madiun mereka mampir dulu di Solo. Sedang mereka makan di suatu rumah makan, datang seorang komandan polisi yang pada waktu itu melihat Sultan Hamengku Buwono IX tampak terkejut tetapi lega.

"Apakah Bapak dari Surabaya?" demikian ia bertanya.

"Ya, baru saja sampai."

"Apakah Bapak bertemu dengan rombongan warok waktu berangkat ke sana?"

"Ya, kami bertemu tetapi untung lolos."

Komandan polisi itu lalu bercerita, mereka mendapat bukti bahwa orang-orang tersebut adalah anak buah Van der Plas. Sewaktu orang-orang muda itu memasuki Solo dan tampaknya mencurigakan, langsung mereka ditangkap dan diintrogasi. Mereka mengaku telah mendapat instruksi agar "menangkap Dorodjatun dan membunuhnya di kaki Gunung Wilis!"

Hamengku Buwono IX lalu bertanya: "Di mana mereka sekarang?"

Komandan polisi menjawab: "Wah, sudah dibereskan Pak!"

Rupanya Hamengku Buwono IX telah benar-benar lolos dari lubang jarum!

Penangkapan Sultan Hamid II

Persamaan antara Sultan Hamengku Buwono IX dan Sultan Hamid II mungkin hanyalah bahwa keduanya adalah pewaris Kesultanan, keduanya pernah sama-sama duduk di Europese Lagere School di Yogyakarta dan mengikuti kuliah di Holland. Di luar itu, pertumbuhan dan jalan hidup keduanya telah menempuh arah yang sangat berlainan dan suatu waktu menjadi sangat berlawanan.

Ketika Dorodjatun pada usia 28 tahun dinobatkan menjadi Sultan Hamengku Buwono IX, yang secara otomatis diberi pangkat tituler mayor jenderal dari Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL), bekas teman sekelasnya itu dinobatkan menjadi Sultan Hamid II dan juga mendapat titel militer dalam KNIL. Ia kemudian diangkat menjadi ajudan Ratu Belanda, jabatannya yang tetap dipegangnya sampai saat ia mendapat pensiun untuk jabatan ini.

Ketika kemudian Sultan Hamengku Buwono IX menampilkan diri sebagai seorang pejuang RI yang tangguh, Hamid II selalu berdiri di pihak Belanda dan menjadi salah seorang utusan terpercaya untuk membujuk Sultan Hamengku Buwono IX agar mau bekerja sama dengan Belanda. Sultan Hamid adalah juga Ketua BFO (Bijeenkomst voor Federale Overleg = Majelis Permusyawaratan Federal) yang menghimpun para kepala daerah federal.

Ketika 19 Desember 1949 Kabinet Republik Indonesia Serikat terbentuk, yang menjadi Perdana Menteri adalah Moh. Hatta dan yang menjadi Menteri Pertahanan adalah Sultan Hamengku Buwono IX. Pihak Belanda kecewa sekali, karena jago mereka untuk jabatan Menteri Pertahanan yaitu Sultan Hamid II hanya ditunjuk sebagai salah seorang menteri negara.

Dalam program Kabinet RIS tercantum sebagai bagian pokok antara lain:

-- Menyelenggarakan pemindahan kekuasaan ke tangan Indonesia di seluruh daerah Indonesia dengan seksama.
-- Mengusahakan reorganisasi KNIL dan pembentukan Angkatan Perang RIS serta melaksanakan pengembalian tentara Belanda ke negaranya dalam waktu selekasnya.

Adalah menjadi keinginan Belanda agar dalam pembentukan Angkatan Perang RIS ini KNIL menjadi intinya. Namun hal ini hanya dapat tercapai apabila yang menjadi Menteri Pertahanan adalah orang kepercayaannya yaitu Sultan Hamid II. Dengan ditetapkannya Hamengku Buwono IX menjadi Menteri Pertahanan, harapan Belanda agar KNIL memegang peran memimpin menjadi tipis kalau tak mau dikatakan telah buyar sama sekali.

Tetapi Belanda masih ingin berusaha memaksa niatnya. Mereka merencanakan suatu coup dengan sasaran utama Menteri Pertahanan, dengan pelaku Batalyon X di bawah pimpinan Westerling. Menurut Sultan Hamengku Buwono IX, peristiwa yang berklimaks dengan penangkapan Sultan Hamid II itu sebagai berikut:

Jelas, latar belakang persoalan itu ialah: apakah KNIL masuk TNI atau TNI masuk KNIL. Sesungguhnya kami orang Republik, sudah lama mencurigai Hamid bahwa ia merupakan pion Belanda. Pernah ada yang mengusulkan agar ia ditangkap saja. Tetapi saya sebagai Menteri Pertahanan harus bertindak menurut peraturan dan waktu itu tak ada keadaan SOB.

Suatu waktu kami mendapat info yang sangat dapat dipercaya bahwa Belanda akan mengadakan penyerbuan terhadap sidang Kabinet suatu hari tertentu pada pukul 19.00. Westerling dengan Batalyon X-nya akan melakukan penyerbuan itu di tempat sidang yang biasa, yaitu di gedung Kabinet di Pejambon, Jakarta.

Tujuan penyerbuan itu ialah menembak mati Menteri Pertahanan Hamengku Buwono IX, Sekjen Ali Budiardjo dan KSAP T.B. Simatupang. Agar orang tak menaruh curiga, Sultan Hamid akan ditembak ringan pada kaki. Setelah itu anggota kabinet yang lain akan digiring ke depan Presiden Sukarno untuk memaksakan menetapkan Sultan Hamid II menjadi Menteri Pertahanan.

Informasi itu selanjutnya menyatakan, apabila coup berhasil baik dan Hamid telah menjadi Menteri Pertahanan, keesokan harinya ia akan berangkat ke Holland untuk mendapat instruksi dari Kabinet Belanda.

Pada hari yang dimaksud, sidang Kabinet berlangsung seperti biasa. Sultan Hamid II tampak datang terlambat, baru kira-kira pukul 18.00, sedangkan sidang telah dimulai pukul 17.00. Sesuai rencana kami, pada pukul 18.30 tiba-tiba sidang ditutup oleh Perdana Menteri Moh. Hatta. Semua agak heran karena biasanya sidang Kabinet berlangsung sampai malam. Tetapi yang nampak agak bingung adalah Sultan Hamid.

Ketika saya keluar dari gedung Kabinet, saya melihat jeep Westerling mondar mandir di Jalan Pejambon. Kami semua meninggalkan tempat tersebut. Westerling yang mencium suasana kurang aman, malam itu rupanya segera melarikan diri. Saya perintahkan untuk mengejar sampai ke beberapa tempat persembunyiannya yang kami ketahui. Juga ke tempat ibunya, yang sepengetahuan kami mempunya restoran di depan Istana Cipanas. Ternyata tak dijumpai, tetapi kami buat sedemikian rupa agar ia tak dapat menginap di manapun kecuali di kolong jembatan. Dasar orangnya licin, ia lolos dan belakangan kami tahu bahwa ia dijemput oleh satu kesatuan Belanda secara khusus dan langsung dilarikan ke luar Indonesia. Sementara itu persiapan segera diadakan untuk menangkap Sultan Hamid. Karena waktu itu ia menjabat sebagai menteri, proses untuk menangkapnya harus mengikuti peraturan. Lebih dulu saya harus mendapat surat perintah yang ditandatangani Presiden dan Wakil Presiden. Langsung malam itu semuanya disiapkan, dan saya sendiri meminta tanda tangan Presiden dan Wakil Presiden. Masih ada satu tanda tangan lagi yang diperlukan untuk penangkapan seorang menteri, yaitu tanda tangan Sekretaris Kabinet yang waktu itu dijabat oleh Mr Karim Pringgodigdo.

Rencana penangkapan Hamid harus dilaksanakan dengan penuh rahasia. Karena itu pula saya terpaksa mengagetkan Mr. Karim Pringgodigdo dengan mendatanginya untuk meminta tanda tangan pada kira-kira pukul 02.00. Dan jam menunjukkan kira-kira pukul 03.00 ketika satu kesatuan tentara menangkap Hamid di Hotel des Indes.

Ketika kamarnya digeledah, banyak bukti dari hal-hal yang kami curigai didapati di sana, termasuk rencana lengkap berikut gambar denah petunjuk penyerbuan terhadap sidang Kabinet yang sedianya akan dilakukan sore hari sebelumnya. Kecuali barang-barang bukti yang langsung diamankan, malam itu juga kami menemukan di kamarnya satu lemari penuh dengan ... jenever asli Holland! Satu tanda bahwa Hamid memang suka akan minuman keras.

Demikian kisah penangkapan Sultan Hamid II di tahun 1950, sebagaimana diceritakan sendiri oleh Sultan Hamengku Buwono IX, cuplikan pengalaman dari dua orang sultan yang waktu kecil pernah duduk satu sekolah dan sekelas.

Pengalaman Inkognito

Berbagai cerita sering beredar di masyarakat mengenai Sultan Hamengku Buwono IX yang menggambarkannya sebagai orang yang suka mengemudikan mobil ke mana-mana, dan sering juga memberi lift atau tumpangan kepada rakyat biasa. Benarkah cerita-cerita itu, atau hanya isapan jempol pengagumnya saja yang ingin menampilkannya sebagai pribadi yang sederhana dan suka menolong? Agar cerita-cerita itu jelas kedudukannya, apakah hanya cerita burung saja ataukah mengandung kebenaran, berikut ini rekaman percakapan bersama Sultan Hamengku Buwono IX:

Penulis: Ada satu peristiwa yang pernah sampai dimuat di koran-koran Yogya sekitar tahun 1946. Dikabarkan waktu itu Bapak memberi lift kepada seorang wanita pedagang beras dari luar kota ke suatu pasar di Yogya. Wanita tersebut yang mengira Bapak adalah sopir biasa, kemudian mambayar ongkos. Setelah orang itu mengetahui bahwa sopir yang baru menolongnya adalah Ngarsa Dalem, ia jatuh pingsan. Betulkah ini?

Hamengku Buwono IX: Sebenarnya saya memang sering memberikan lift atau tumpangan kepada orang. Kasus yang satu ini saya ingat betup karena kemudian saya membacanya di koran. Ketika itu saya sedang mengemudikan jeep dari Sleman menuju Yogya. Seorang wanita menyetop saya di pinggir jalan, mengatakan mau ikut ke pasar Kranggan. Saya berhenti, menolongnya mengangkat dagangannya ke atas kendaraan dan saya bawa dia ke pasar Kranggan. Sesampai di tempat tujuan, saya turunkan barang-barang dagangan itu. Kemudian ia mau memberi ongkos. Tetapi saya menolak dan kembali ke kendaraan, terus pergi. Saya tahu hanya sampai di situ. Bahwa kemudian pedagang itu pingsan, saya membaca di koran, setelah ia tahu siapa saya.

Penulis: Kejadian lain yang serupa, apa saja yang Bapak alami?

Hamengku Buwono IX: Yang ini hanya pengalaman lucu saja. Anda ingat, dulu di jaman tahun lima puluhan mobil-mobil belum diberi AC. Demikian juga mobil saya, walaupun ketika itu saya menjabat menteri. Padahal kesenangan saya adalah mengemudikan mobil antara Jakarta-Yogya pulabg-pergi. Jika hari sangat panas dan dibelakang setir saya kegerahan sesampai di liar kota saya suka buka baju. Dab duduk di belakang setir dengan santai saja, hanya memakai singlet da ... celana dalam. Di suatu tempat kira-kira di perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah, di bilangan daerah Cilosari, sering ada penyetopab oleh polisi untuk pemeriksaan surat-surat. Malam itu saya distop, dan atas permintaan polisi saya berikan rewebes dan surat-surat mobil.

Beberapa saat setelah meneliti rewebes dan surat-surat mobil saya, tampak polisi itu seperti kaget dan agak gugup. Beberapa kali ia mengamati foto di rewebes, kemudian memandang saya. Tiba-tiba ia berdiri tegak, memberi hormat dengan tangan kanan ke kepala sambil berkata terputus-putus: "Eh, selamat malam Pak, silahlan jalan terus".

Ia berkata demikian sambil lekas-lekas mengembalikn rewebes dan surat-surat mobil saya. Di dalam mobil, sendirian, saya tertawa geli sambil mengingat-ingat wajah polisi yang rikuh itu.

Penulis: Barangkali polisi itu benar-benar bingung, harus bersikap bagaimana menghadapi Menter Pertahanan yang hanya mengenakan baju dalam. Pengalaman yang lain?

Hamengku Buwoni IX: Pada waktu yang lain, saya sedang menuju Bandung, juga ketika saya masih menjabat Menteri Pertahanan. Di suatu desa ada seorang pria yang ikut menumpang. Kami mengobrol dalam sikap santai sambil merokok.

Kemudian saya merasa bahwa penumpang ini berkali-kali memperhatikan muka saya. Akhirnya ia bertanya, "Apakah Bapak ini Sultan Hamengku Buwono yang ... eh, Menteri Pertahanan itu?"

"Ya", kata saya.

Pria itu mendadak seperti tidak betah duduk di sebelah saya. Ia tampak agak gelisah dan minta diturunkan saat itu juga, padahal kami masih jauh dari tempat tujuan.

"Tak usah sampai di Bandung Pak", katanya kaku.

"Ah, nggak apa-apa", kata saya dan saya "paksa" pria itu untuk terus ikut sampai di kota tujuan.

*** kembali ke Daftar Isi Tahta Untuk Rakyat ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar