Sabtu, 14 Juni 2014

Bab 13 Yang Irasional, yang Berbau Mistik, Tahta Untuk Rakyat

Tahta Untuk Rakyat, adalah buku koleksi ayahku. Buku ini diterbitkan oleh PT Gramedia pada tahun 1982.
Ini buku bercerita tentang Sultan Hamengku Buwono IX, Raja Jogja. Bagi kalian yang membutuhkan, berikut aku ketikkan kembali.
semoga bermanfaat
salam nalasjebang .... merdeka!

Delfaji Amardika

Bab 13
Yang Irasional, yang Berbau Mistik

Walaupun jaman dongeng dan legenda kini telah lampau, suatu kabut mistik masih tetap meliputi kejadian-kejadian di kawasan kerajaan. Masih banyak peristiwa yang sifatnya irasional telah terjadi dan kemudian hanya dapat diterima dengan sikap "percaya atau tidak".

Di Keraton-keraton, makam-makam para raja dan sebagainya masih banyak tempat yang dianggap angker, keramat, sehingga mengunjunginya pun tak dapat sembarangan, harus setelah melalui satu proses dan mengikuti peraturan tertentu. Tidak untuk mempertentangkan yang irasional dengan yang ilmiah, tetapi sekedar untuk pengetahuan tentang kabut yang menyelubungi Keraton Yogya, berikut ini rekaman dialog dengan Sultan Hamengku Buwono IX:

Penulis: Orang mengatakan, Bapak sebagai keturunan raja-raja Mataram dapat berhubungan dengan nenek moyang dengan cara meditasi, bertapa atau sejenisnya. Benarkah ini?

Hamengku Buwono IX (sambil tersenyum): Saya ini kelahiran Sabtu Paing. Menurut kepercayaan orang Jawa, orang dengan kelahiran hari tersebut tidak punya bakat ke arah pengalaman-pengalaman khusus seperti yang mungkin Anda maksud ...

Penulis: Bagaimana dengan wisik atau bisikan gaib yang Bapak terima pada akhir Pebruari 1940, bukankah itu satu bukti bahwa Bapak dapat berkomunikasi dengan leluhur?

Hamengku Buwono IX: Sebagaimana saya katakan, bisikan itu tak saya ketahui apakah datang dari luar atau dari dalam diri saya sendiri akibat tekanan batin yang amat berat. Ketika itu perundingan dengan Belanda menemui jalan buntu, tapi suatu cara pemecahan harus ditemukan.

Penulis: Tetapi jelas kata-kata yang Bapak dengar adalah, "Tole tekena wae ..." Berarti ini datang dari salah seorang nenek moyang Bapak?

Hamengku Buwono IX: Mengingat kata-kata itu tentunya demikianlah.

Penulis: Berapa kali Bapak mendapat wisik seperti itu?

Hamengku Buwono IX: Hanya sekali itu saja.

Penulis: Apakah ini berarti karena tekanan atau beban waktu itu terasa sangat berat, yang terberat yang pernah Bapak alami?

Hamengku Buwono IX: Memang termasuk yang terberat, karena saya tahu kontrak politik itu jangkauannya sangat jauh ke depan.

Penulis: Tampaknya Bapak percaya penuh pada wisik itu. Bagaimana Bapak dapat menjelaskannya sebagai orang yang telah mengenyam pendidikan Barat?

Hamengku Buwono IX: Saya memang yakin dan percaya penuh terhadap wisik itu, dan anehnya makin lama makin begitu yakin sehingga seterusnya menjadi sumber dasar sikap saya dalam menghadapi Belanda, jaman Jepang dan Proklamasi kemerdekaan. Saya tak tahu mengapa demikian, dan tak dapat menerangkannya secara ilmiah.

Penulis: Orang juga mengatakan, setiap raja di Jawa dianggap sebagai "suami" Nyai Rara Kidul. Bagaimana pendapat Bapak tentang hal ini dan pernahkan Bapak "berhubungan" dengan Dewi Laut Jawa ini?

Hamengku Buwono IX: Menurut kepercayaan lama memang demikianlah halnya. Saya menyebutnya Eyang Rara Kidul saja. Dan saya pernah mendapat kesempatan "melihatnya" setelah menjalani ketentuan yang berlaku seperti berpuasa selama beberapa hari dan sebagainya. Pada waktu bulan naik. Eyang Rara Kidul akan nampak sebagai gadis yang amat cantik; sebaliknya apabila bulan turun, ia tampil sebagai wanita yang makin tua.

Penulis: Masih adakah acara nglabuh sekarang ini? Dan bagaimana hal ini dilaksanakan?

Hamengku Buwono: Acara ngelabuh tetap dilaksanakan sampai sekarang. Artinya, "melabuh" sesuatu ke Laut Jawa, setiap tahun, pada ulang tahun Raja -- dalam hal Kesultanan Yogya jatuh pada ulang tahun saya menurut hitungan Jawa -- seperangkat pakaian baru dan lama "dilabuh" di pantai selatan. Barang-barang yang akan "dilabuh" itu ditaruh di atas semacam getek (rakit), lalu didorong ke tengah Laut Jawa sampai batas yang memungkinkan. Perangkat pakaian itu biasanya akan hilang, tetapi setelah beberapa lama pakaian lama akan kembali dengan sendirinya.

Penulis: Itu hanya dilakukan sekali setahun?

Hamengku Buwono IX: Ya, sekali setahun dengan cara itu. Tetapi bila giliran sampai pada tahun Dal (sekali dalam 8 tahun), yang "dilabuh" terdiri dari perangkat yang lebih lengkap, termasuk pelana kuda selengkapanya. Harga barang-barang yang "dilabuh" itu cukup mahal juga. Kalau untuk tahun Dal mungkin dapat mencapai harga tak kurang dari lima juta rupiah.

Penulis: Bagaimana dengan Kembang Wijayakusuma?

Hamengku Buwono IX: O, kalau Kembang Wijayakusuma, itu untuk Kasunanan Solo. Menurut kisah, setiap raja di Kasunanan Solo pada waktu mulai bertahta harus mendapatkan kembang tersebut di pantai selatan Jawa melalui usaha yang tak mudah. Jumlah kelopak daun yang terdapat pada bunga tersebut katanya merupakan jumlah tahun usia raja tersebut.

Penulis: Bapak berpendidikan Barat yang tinggi. Bagaimana Bapak menghadapi hal-hal di Keraton yang sulit dijangkau dengan rasio. Misalnya pusaka Keraton, soal ritual mengunjungi makam Imogiri dan Kotagede, soal Nyai Rara Kidul dan sebagainya.

Hamengku Buwono IX: Begini, ya. Di suatu kerajaan seperti Yogya ini banyak hal yang dapat dan selama ini dihadapi dengan sikap terbuka sesuai perkembangan jaman. Ambil saja sebagai contoh soal pemakaian beberapa bagian Keraton. Pada tahun-tahun pertama pemerintahan saya bagian-bagian tertentu dari Keraton mulai digunakan untuk keperluan Universitas Gadjah Mada, dan bagian lain lagi terbuka untuk para turis. Tetapi ada hal-hal lain yang harus terang, tak berani saya ubah sampai sekarang. Hal-hal yang, percaya atau tidak, akan mempunyai akibat apabila peraturannya dilanggar atau tidak ditepati -- peraturan yang telah ada sejak jaman raja-raja sebelum saya. Apabila seorang turis, misalnya, patuh kepada peraturan sebelum ikut naik ke makam Imogiri, tak akan terjadi apa-apa.

Penulis: Adakah contoh yang dapat Bapak sebutkan sebagai bukti bahwa sebaliknya akan membahayakan?

Hamengku Buwono IX: Mungkin dapat saya kemukakan apa yang dialami oleh Lucien Adam, Gubernur yang merundingkan kontrak politik dengan saya. Suatu waktu di jaman pemerintahan ayah saya, ia mengemukakan keinginan untuk mengunjungi makam Imogiri. Tetapi ia merasa tak perlu untuk mengikuti peraturan tentang cara berpakaian; ia ingin memakai pakaian gubernur Belanda saja. Ayah telah memperingatkan Gubernur Adam agar tak menyimpang dari ketentuan yang telah berlaku sejak dulu. Ia tetap tak percaya dan berkeras untuk melaksanakan niatnya. Percaya atau tidak, ketika ia sedang naik tangga yang ratusan jumlahnya tiba-tiba ia harus cepat turun kembali. Seorang petugas memberitahukan bahwa ada yang menjemputnya karena anaknya baru saja mengalami kecelakaan serius dan ia harus segera datang ke tempat kecelakaan. Suatu musibah, bagaimanapun, telah menyebabkan Adam tak dapat sampai di atas.

Penulis: Adakah kejadian-kejadian lain yang dapat digolongkan "boleh percaya boleh tidak", namun benar-benar menjadi kenyataan?

Hamengku Buwono IX: Oh, banyak sekali. Kalau saya ceritakan, satu malam suntuk pun tak akan habis. Soal percaya atau tidak, itu terserah kepada masing-masing saja. Misalnya yang kami alami di awal kemerdekaan RI dulu. Pada waktu peperangan masih berkecamuk, kebanyakan orang memerlukan semacam "pegangan" untuk ketenteraman hati, untuk ketenangan. Untuk itu banyak orang pergi ke dukun, ke kyai, pendeknya "orang pinter" lah. Suatu waktu seorang komandan tentara di daerah Yogya meminta tempat kepada saya untuk pertemuan para kyai. Maka bertemulah kira-kira 30 "orang pinter" di tempat yang saya tunjuk di bilangan Ambarukmo. Nah, salah seorang di antara para kyai mengatakan kepada saya bahwa menurut wisik yang dia dapat, saya harus memberikan dua kali pengorbanan demi keselamatan Republik ini. Pengorbanan yang pertama menurut kyai tersebut adalah tumbal dua ekor ayam jago kembar berjalu (susuh) kuning yang ditempatkan di sebelah barat daya Keraton.

Saya sendiri tak mengerti sebabnya, tetapi pada saat itu tanpa sadar saya langsung menjawab: "O, itu sudah diberikan". Yang saya ketahui hanyalah: jalu kuning berarti pertanda yang menyangkut keluarga saya. Dan arti "dua jago kembar" adalah dua orang saudara atau sahabat. Memang baru saja ada dua orang saudara saya yang meninggal pada saat yang sama dan dimakamkan pada saat yang bersamaan pula. Yang seorang tinggal di selatan Keraton, yang seorang lagi sebelah barat Keraton. Waktu itu saya mengatakan, bila benar kata-kata kyai itu maka dua jago kembar itu harus ditemukan dalam bentuk nyata dalam waktu 24 jam.

Pengorbanan yang kedua menurut kyai tersebut: Seekor ayam hitam mulus (seluruhnya hitam) dan seekor jago putih mulus, tempatnya di kaki Gunung Wilis. Kepada Kyai itu saya tanyakan, siapa sebenarnya yang memberi wisik kepadanya, apakah ada penampilan yang dia lihat.

Kyai itu mengatakan bahwa ia melihat seorang yang berbadan tinggi, berjubah hijau, memakai ubel-ubel cinde (tenunan asli Jawa berwarna merah dan putih). Orang yang biasa tampil dalam pakaian seperti itu, menurut kepercayaan kami, adalah Eyang Sultan Agung. Oleh karena itu saya katakan kepada kyai agar ia berusaha mendapatkan keterangan lebih mendalam lagi. Untuk ini saya memintanya agar pergi ke suatu pesanggrahan di Ambarbinangun, letaknya di barat daya Keraton, diantar oleh adik saya, Bintoro. Waktu itu kira-kira pukul 15.00, tetapi kira-kira pukul 15.30 mereka sudah kembali dengan membawa dua ekor jago kembar berjalu kuning.

Saya bertanya: "Dari mana jago-jago itu?"

Katanya, "Kami menemukannya di bilangan Ambarbinangun. Kami baru akan memasuki gapura ketika di tengah jalan tampak dua ayam jago. Klakson mobil dibunyikan berkali-kali tapi kedua ayam itu tak juga mau menyingkir. Setelah didekati ternyata itu adalah ayam kembar dan keduanya berjalu kuning. Setelah menemukan pemiliknya, kedua jago itu kami beli dan dibawa ke keraton".

Karena kedua ayam jago kembar sudah ditemukan, saya meminta kyai di Kepatihan, saya kedatangan dua tamu -- seorang pengawas kehutanan dan seorang petani. Keduanya, kata mereka, secara kebetulan bertemu di stasiun Kediri dan tujuan mereka ternyata sama yaitu Keraton Yogya.

Kepada pengawas kehutanan saya bertanya: "Apa maksud kedatangan Anda".

Ia berkata:, "Saya harus memberikan ini kepada Ngarsa Dalem", sambil memberikan sesuatu berbungkus kain putih kepada saya.

Saya bertanya lagi: "Anda ikhlas memberikan ini?" Tiga kali saya mengajukan pertanyaan yang sama, tiga kali pula ia menjawab: "Ikhlas!"

Sesudah itu barulah saya buka bungkusan itu, ternyata berisi pucuk tombak berwarna putih seperti terbuat dari campuran timah dan logam.

Petani, yang juga saya tanyai tujuannya, berkata bahwa ia hanya ingin memperlihatkan sesuatu kepada saya. Bungkusan yang waktu itu dibukanya memperlihatkan juga sebuah pucuk tombak, tapi berwarna hitam kelam, berbentuk figur Semar dan bagus sekali. Karena ia hanya mau menunjukannya saja, barang itu benar-benar saya amati. Saya terkesan sekali pada keindahannya.

Tetapi tiba-tiba terjadi peristiwa yang aneh. Petani itu, yang duduk membelakangi pintu masuk di kantor saya, tampak seakan-akan kaget dan menoleh ke belakang, lalu kejang-kejang seperti dicekik orang dan nafasnya sesak. Mula-mula saya mengira bahwa ia mendapat serangan penyakit ayan, tapi mulutnya tidak mengeluarkan busa.

Saya memberi isyarat agar ia ditolong. Anehnya enam orang pegawai Keraton yang datang tidak kuat mengangkatnya bersama-sama. Apa yang kemudian terjadi, lagi-lagi tak dapat saya mengerti. Bungkusa berisi pucuk tombak hitam yang terselip di dadanya saya ambil, dan sesudah itu barulah orang dapat mengangkatnya.

Pada saat itu sedang terjadi pemboman terhadap RRI Yogyakarta, yang dilakukan oleh Belanda. Karena itu saya harus pergi untuk memeriksa keadaan. Saya meninggalkan Kepatihan hanya selama kira-kira 20 menit.

Ketika saya kembali, si petani telah siuman. Saya bertanya kepadanya, apakah ia melihat sesuatu ketika tiba-tiba tampak kaget dan menengok ke belakang. Dikatakannya ia melihat seorang berbadan besar, memakai jubah hijau dan berubel-ubel warna merah.Kembali saya teringat pada kepercayaan kami di Keraton bahwa itu adalah Eyang Sultan Agung. Kata petani itu, ia dipegang oleh orang besar tersebut sehingga sulit bernafas. Kini, katanya, ia ingin menyerahkan bungkusan berisi pucuk tombak yang dibawanya. Atas pertanyaan, ia mengatakan ikhlas memberikannya.

Kedua orang itu, pengawas kehutanan dan petani, saya anjurkan agar bersama-sama mengunjungi makam Eyang Sultan Agung untuk memohon maaf. Setelah meninggalkan kedua pucuk tombak, mereka pun pergi menuju Imogiri. Di sana mereka bertemu dengan kyai yang sebelumnya juga saya minta untuk berkunjung ke Imogiri.

Kyai, yang diberitahu tentang kejadian di Kepatihan, segera menarik kesimpulan bahwa "memang itulah yang kita cari". Kalau petunjuk itu benar, katanya, dalam waktu 24 jam dua ayam jago -- seekor hitam mulus dan seekor lagi putih mulus -- harus dapat ditemukan di kaki Gunung Wilis.

Demikianlah, kyai itu kemudian diantar oleh adik saya menuju Gunung Wilis. Di sana dengan mudah mereka menemukan dua ayam jago, warna bulunya tepat seperti yang digambarkan sebelumnya.

Sekarang, apa yang hendak dilakukan dengan empat ayam yang telah ditemukan itu? Menurut petunjuknya, masing-masing seekor dari kedua jago kembar berjalu kuning saya berikan kepada keluarga saudara saya yang baru meninggal untuk keperluan selamatan. Sedangkan yang berwarna putih mulus diaembelih untuk ditanam di suatu tempat di Keraton, ada yang hitam mulus dipelihara dan ditempatkan dekat pusaka Keraton.

Waktu itu saya baru mempunyai beberapa anak perempuan, tetapi belum ada anak laki-laki. Aneh sekali, tepat pada saat anak laki-laki saya yang pertama dilahirkan ayam hitam mulus itu mati, seakan-akan jiwanya berpindah kepada anak saya.

Ada lagi kejadian lain yang akhirnya mempunya kaitan dengan pemberian nama kepada anak laki-laki saya yang tertua. Yaitu kedatangan seseorang di Keraton untuk menyerahkan pusaka yang hilang. Tetapi lebih baik kisah ini dimulai dari awal.

Begini ceritanya: Pada jaman Sultan Hamengku Buwono I telah dibuat lima figur wayang dari kulit, yang kemudian menjadi pusaka Keraton. Ada di antaranya yang benar-benar merupakan hasil karya Hamengku Buwono I sendiri, sangat halus dan indah. Pada waktu itu pendiri Kesultanan Yogya tersebut telah meramalkan bahwa wayang pusaka ini akan hilang pada jaman pemerintahan Hamengku Buwono III, dan akan kembali lagi pada jaman pemerintahan Hamengku Buwono VIII dan Hamengku Buwono IX. Apabila kelak kelima wayang itu sudah kembali lagi di Keraton, maka baru pada waktu itulah negara akan makmur sejahtera, demikian ramalan Hamengku Buwono I.

Benar, ketika Hamengku Buwono III berkuasa hilanglah kelima wayang tersebut. Di jaman pemerintahannya, ayah saya Hamengku Buwono VIII berusaha mencarinya, dan dua di antaranya memang ditemukan kembali. Seungguhnya, menurut kepercayaan Jawa, pusaka itu memang dapat hilang dengan sendirinya, dan tanpa dicari dapat kembali pula dengan sendirinya.

Nah, waktu saya pulang dari studi di Holland, tak lama kemudian ada seorang Cina yang datang dari Cirebon menemui kakak saya yang tertua. Orang itu menyatakan maksud akan mengembalikan sesuatu ke Keraton Yogya. Wah, karena saya tak tahu apa-apa tentang segala kisah lama ini, saya memanggil seorang ahli sastra Jawa untuk meneliti kembali primbon mengenai wayang-wayang. Memang segala sesuatu mengenai wayang-wayang itu tertulis semuanya dengan gaya puisi Jawa dan tidak setiap orang dapat memahami arti dan maknanya. Setelah dipelajari dan dicocokkan barang yang diserahkan oleh Cina dari Cirebon itu, ternyata ciri-cirinya cocok sekali. Figur yang diserahkan waktu itu adalah tokoh Arjuna yang indah sekali. Orang yang menyerahkan itu memberikannya dengan ikhlas dan tak mau diberi imbalan apa pun. Kami hanya memberikan sekedar biaya pulang ke Cirebon saja. Dengan demikian tiga dari lima wayang kulit itu telah berada kembali di Keraton.

Beberapa waktu sebelum kelahiran anak laki-laki saya yang tertua tahun 1946, datanglah seorang dari Ambarawa. Dia pun menyatakan ingin menyerahkan sesuatu untuk Keraton Yogya, yang ternyata adalah tokoh wayang, kini berupa Srikandi (istri Arjuna) bertatah halus dan cantik. Dikatakannya, ia menyerahkan wayang ini dengan ikhlas. Dalam pertemuan itu pemilik wayang ini juga berkata bahwa daerahnya di Ambarawa baru saja diserbu Belanda, semua rumah di sekililing tempat tinggalnya habis terbakar, punah seluruhnya. Anehnya, rumah orang itu seperti kena mukjizat. Di tengah puing-puing itu rumahnya masih utuh, tak tersentuh api atau apa pun, demikian kata orang itu.

Saya tentu tak percaya mendengar ceritanya, bagaimana mungkin hal demikian dapat terjadi di tengah api peperangan?.

Maka saya pun bersama orang tersebut pergi ke Ambarawa. Dan saya melihat sendiri rumahnya, yang hanya berupa gubug kecil, masih berdiri utuh di tengah puing-puing bekas serbuan Belanda dan bekas kebakaran di seluruh kawasan itu.

Pesan yang menyertai pengembalian wayang Srikandi ke Keraton ialah agar bayi yang akan lahir dalam waktu dekat diberi nama Arjunawiwaha. Saya pikir, kurang enak bagi anak itu kelak apabila saya beri nama Arjunawiwaha. Lalu saya mencari bunyi lain di mana nama Arjuna dapat dimasukkan. Maka anak itu, pada kelahirannya saya beri nama Herjuno Darpito. Anak ini pula yang dewasa ini telah diberi gelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Mangkubumi.

Dengan demikian kini empat dari lima tokoh wayang telah berada di Keraton Yogya. Tinggal menunggu sebuah lagi akan lengkaplah kelimanya, tetapi berupa apa yang kelima ini saya tidak tahu.

Penulis: Semua cerita itu sangat mengasyikkan, seakan-akan dongeng-dongeng jaman dulu. Tapi, nyatanya telah benar-benar terjadi. Saya hanya berharap semoga benar ramalan Hamengku Buwono I bahwa jika kelimanya telah kembali, negara akan makmur sejahtera. Apakah ini berlaku untuk seluruh Indonesia atau hanya Yogya?

Hamengku Buwono IX: Sebagaimana sudah saya katakan, soal percaya atau tidak terserah saja. Saya hanya menceritakan kejadian sebagaimana saya alami.

Penulis: Bapak percaya kepada ramalan Jayabaya?

Hamengku Buwono IX: Kenyataanya, ramalan Prabu Jayabaya benar-benar terlaksana, adalkan kita tahu bagaimana mengartikan kata-kata penuh kiasan itu. Misalnya tentang pendudukan Jepang atas wilayah bekas jajahan Hindia Belanda yang dikatakan akan berlangsung se-umur jagung lamanya. Pihak Jepang sendiri, yang tahu adanya ramalan ini, kabarnya mengartikannya sebagai harja dan agung, yang mengandung unsur positif dan berlangsung seterusnya. Namun, yang lebih tahu mengartikannya: buah jagung sampai dipetik berumur 3 1/2 bulan terlalu pendek dan tak mungkin, tetapi tanaman jagung berumur 3 1/2 tahun. Dan kenyataannya, Jepang menduduki Indonesia selama 3 1/2 tahun. Namun sekali lagi, setiap ramalan hendaknya dihadapi sewajarnya saja, sekedar diterima sebagai pengetahuan dan jangan terlalu dijadikan pedoman.

*** kembali ke Daftar Isi Tahta Untuk Rakyat ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar