Senin, 16 Juni 2014

Bab 14 Arti Keraton Yogyakarta dan Sejarahnya, Tahta Untuk Rakyat

Tahta Untuk Rakyat, adalah buku koleksi ayahku. Buku ini diterbitkan oleh PT Gramedia pada tahun 1982.
Ini buku bercerita tentang Sultan Hamengku Buwono IX, Raja Jogja. Bagi kalian yang membutuhkan, berikut aku ketikkan kembali.
semoga bermanfaat
salam nalasjebang .... merdeka!

Delfaji Amardika

Bab 14
Arti Keraton Yogyakarta dan Sejarahnya

Untuk memperoleh gambaran mengenai latar belakang para Sultan di Yogyakarta, ada baiknya kini menelaah apa arti dan bagaimana bentuk tempat asal mereka -- yaitu Keraton. Keraton adalah tempat bersemayam ratu-ratu, berasal dari kata ke-ratu-an, atau kadang-kadang disebut juga kedaton yang berasal dari kata ke-datu-an. Dalam bahasa Indonesia, tak lain adalah Istana. Tetapi Keraton adalah sebuah istana yang mengandung arti keagamaan, falsafah dan kebudayaan.

Dan sesungguhnya Keraton Yogyakarta penuh dengan arti-arti yang baru disebutkan ini. Segala sesuatu di dalamnya, dari arsitektur bangunannya, letak bangsal-bangsalnya, ukiran-ukirannya, hiasannya sampai pada warna gedung-gedungnya mempunyai arti. Pohon-pohon yang ditanam di kawasan ini juga tidak sembarangan, melainkan terdiri dari jenis-jenis yang ada maknanya. Konon semua itu mengandung nasehat agar manusia cinta dan menyerahkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, berlaku sederhana, berhati-hati dalam tingkah laku sehari-hari dan sebagainya.

Arsitek Keraton ini tak lain adalah Sri Sultan Hamengku Buwono I, yanv terkenal sebagai ahli bangunan, perwira perang yang perkasa, sekaligus juga seorang pemuka kebatinan.

Kompleks Keraton terletak di tengah-tengah, luasnya lebih kurang 14.000 m2, tetapi daerah Keratonnya membentang antara sungai Code dan sungai Winanga, membujur dari utara ke selatan, dari Tugu sampai Krapyak. Nama kampung-kampungnya memperlihatkan bahwa di jaman dulu penghuninya mempunyai tugas tertentu di Keraton. Misalnya kampung Gandekan ialah tempat tinggal para gandek atau kurir para sultan, Wirobrajan tempat tinggal para Wirobraja atau prajurit Keraton, Pasindenan tempat tinggal para pesinden dan seterusnya.

Kompleks Keraton dikelilingi oleh tembok lebar, beteng namanya. Panjangnya 1 km, berbentuk 4 segi, tingginya 3 1/2m, lebarnya 3 sampai 4 m. Di beberapa tempat di beteng itu ada gang untuk menyimpan senjata dan amunisi, di keempat sudutnya terdapat bentuk bangunan yang diberi lubang-lubang kecil untuk mengintai musuh. Di sekeliling tembok beteng ini terdapat parit yang lebar dan dalam.

Keraton Yogyakarta dibangun pada tahun 1756 atau tahun Jawa 1682, diperingati dengan lambang berupa dua ekor naga berlilitan satu sama lain. Dalam bahasa Jawa: Dwi (2) Naga (8) Rasa (6) Tunggal (1), di baca dari belakang menjadi 1682.

Keraton dan Sekitarnya

Bangunan Keraton Yogya itu sendiri diapit oleh dua Alun-alun, yaitu Alun-alun Lor dan Alun-alun Kidul. Di jaman lampau, kedua alun-alun itu mempunyai arti yang penting sekali bagi kerajaan karena di tempat itu alat kekuasaan negara digembleng. Di tempat tersebut para perwira dan prajurit berlatih untuk mempergunakan senjata, baik dalam kelompok maupun untuk perkelahian satu lawan satu serta juga untuk barisan berkuda.

Di tengah Alun-alun Utara ada sepasang pohon beringin, masing-masing dikurung dengan pagar sehingga sehari-harinya disebut waringin kurung. Pohon yang satu bernama Kyahi Dewa-ndaru, yang lainnya Kyahi Djaya-ndaru dan dianggap sebagai lambang manunggale Kawula-Gusti atau pertemuan antara Dewa dan Manusia.

Apabila kita sekarang berdiri di Bangsal Witama dan memandang 180 derajat ke utara sebagaimana jaman dulu para sultan duduk sinewaka atau bertahta, maka kita akan bertemu dengan tiga titik. Dua titik adalah dua pohon beringin tersebut dan titik ketiga, yang letaknya lebih jauh, adalah Tugu yang dianggap sebagai lambang pertemuan pokok kekuatan alam yang positif dan negatif.

Jaman dulu tempat waringin kurung itu juga merupakan tempat rakyat menghadap Raja untuk mengadukan nasib atas perlakuan atasan terhadap mereka atau atas suatu keputusan hakim yang dirasakan tidak adil. Untuk jaman sekarang, hal ini dapat disamakan dengan tempat naik banding ke peradilan yang lebih tinggi.

Orang yang ingin menarik perhatian peradilan yang lebih tinggi atau dulu mau menghadap Raja sendiri, lalu berpakaian serba putih, bertutup kepala putih dan duduk di antara dua pohon beringin tersebut. Secepat diketahui oleh Raja atau tokoh-tokoh agung akan halnya orang yang sedang melakukan pepe -- demikian istilah bagi orang yang meminta keadilan kepada Raja dengan cara ini -- secepat itu pula ia dijemput dan terus dihadapkan pada Raja agar dapat mengutarakan sendiri maksud hatinya. Pada waktu itu juga langsung Dewan Pengadilan Agung bersidang, dihadiri oleh Raja dan keputusan pun diambil. Biasanya orang lalu menerima keputusan Dewan Agung ini, karena memang inilah peradilan yang tertinggi.

Adanya cara ber-pepe ini menunjukkan bahwa jaman dulu sudah ada forum untuk memperjuangkan hak asasi manusia, sehingga jelas ini bukan barang baru atau pun barang yang diimpor dari negara lain.

Salah satu hal yang masih perlu dicatat sekitar pembangunan kota oleh Sultan Hamengku Buwono I yang berjalan lancar dan selalu mengingat kepentingan pertahanan itu, tampaknya menimbulkan kecemasan di pihak VOC. Dengan caranya yang licin, seperti biasa, mereka lalu menawarkan "kesediaan untuk memberikan bantuan dalam segala kemungkinan yang bisa mengganggu dan merugikan Ngayogyakarta Hadiningrat" dan dengan dalih ini lalu mendirikan benteng Vredesburg yang sampai sekarang masih berdiri.

Rupanya VOC merasa perlu menjaga diri lebih baik, maka benteng yang serupa hampir dalam waktu bersamaan juga dibangunnya di Surakarta dan kemudian lagi di Purworejo, Magelang, Ambarawa, Ungaran dan Ngawi. Dan kenyataannya, adanya benteng-benteng itu tidak hanya Surakarta dan Ngayogyakarta "dijaga dari dalam" sebagaimana dikatakannya, namun sebenarnya telah dikepung oleh VOC karena di benteng-benteng itu ditugaskan serdadu Belanda dengan persenjataan yang kuat.

Keadaan yang mantap di Ngayogyakarta di bawah pemerintahan Hamengku Buwono I berubah ketika Raja yang disayangi oleh rakyatnya ini meninggal dunia pada 1972. Dengan perginya "orang kuat" ini maka selama bertahun-tahun berkecamuk kekacauan, "kapal Ngayogyakarta" seperti kehilangan arah dilanda badai perpecahan yang semuanya adalah permainan VOC. Dalam suasana keruh seperti itu lahirlah pemerintahan Kadipaten Pakualaman pada 13 Maret 1813. Yang diangkat sebagai Paku Alam I adalah BP Notokusumo, putra Sultan Hamengku Buwono I, dan gelarnya adalah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam.

Letak ibukota Pakualaman adalah di dalam Ngayogyakarta, sehingga dengan berdirinya pemerintahan Kadipaten Paku Alam kota Ngayogyakarta mengalami perubahan. Pemisahan ditandai dengan dibangunnya tembok keliling (ringmuur). Di tahun-tahun belakangan segala pemisahan dan pembatasan ini banyak dihapuskan karena dianggap tidak membawa manfaat. Lebih kemudian lagi, untuk menghapuskan segala bekas perpecahan akibat benih-benih yang disebarkan oleh VOC di jaman Raffles, maka dengan kesadaran Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII segala yang bersifat pemisahan dihapuskan dan jawatan-jawatan pada pemerintahan Kesultanan dan Pakualaman digabungkan menjadi satu.

Sejarah Yogyakarta

Sejak VOC datang di Jawa, telah puluhan kali mereka membuat kontrak perjanjian dengan Kerajaan Mataram. Asal mula perjanjian itu hanya memuat pasal-pasal mengenai perdagangan, sama sekali tidak menyentuh politik sesuai dengaj tujuan semula VOC. Tapi lama-kelamaan dengan adanya kelemahan di pihak kerajaan, terutama dalam masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwono II dan selalu ada pejabat-pejabat Keraton yang jiwanya "mudah dibeli", masuklah unsur-unsur politik yang membuat VOC makin lama makin berkuasa.

Dalam masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwono II, yang suatu waktu terus-menerus terjadi perang saudara, tercatat sebagai "pemberontaknya" adalah BPH Mangkubumi. Sesungguhnya pangeran ini berusaha melawan VOC yang makin lama makin menekan para raja.

Di Keraton Surakarta, Susuhunan Paku Buwono II dalam keadaan sakit parah berhasil dipaksa oleh VOC untuk menandatangani perjanjian yang pada pokoknya merupakan "penyerahan Negara Mataram seluruhnya kepada VOC hanya dengan syarat bahwa keturunan Baginda yang memang berhak naik tahta kerajaan menurut garis turun-temurun akan dinobatkan menjadi raja di Mataram dan kepadanya akan diberikan pinjaman Negara Mataram oleh VOC." Dengan terlaksananya perjanjian seperti itu, sesungguhnya tamatlah sudah riwayat Kerajaan Mataram, dan meskipun kemudian masih disebut-sebut pada hakekatnya itu adalah tinggal nama saja. Secara de facto dan de jure sejak itu sesungguhnya Mataram adalah hak VOC.

Ketika berita akan diserahkannya Mataram kepada VOC sampai di telinga Pangeran Mangkubumi, makin menyalalah amarahnya dan ia berniat membebaskan negerinya dari cengkraman VOC. Kehendak ini belum berhasil dilaksanakan ketika Susuhunan Paku Buwono II menyatakan diri turun tahta, dengan maksud mbegawan dan seterusnya memakai gelar Kyahi Ageng Mataram.

Pada waktu Paku Buwono II telah turun tahta dan belum diangkat Sunan berikutnya, Kerajaan Mataram dalam keadaan vakum. Kemudian para pengikut Pangeran Mangkubumi mengangkatnya sebagai Raja Mataram dengan gelar Sri Susuhunan Paku Buwono juga. Tetapi karena penobatan yang berlangsung pada 11 Desember 1749 itu bertempat di desa Kebanaran, maka untuk selanjutnya Pangeran Mangkubumi lebih dikenal dengan Susuhunan Kebanaran. Walaupun kemudian VOC mengangkat Paku Buwono III dengan akibat timbulnya ketegangan antara dua pihak, VOC itu pula yang mengusulkan untuk "menghentikan perang saudara" dan mengikat sebuah perjanjian.

Usul ini kemudian melahirkan Perjanjian Giyanti, ditandatangani pada 13 Pebruari 1755. Sebuah perjanjian yang pada pokoknya "membelah nagari" atau membelah Negara Mataram menjadi dua bagian. Separuh diperintah oleh susuhunan Paku Buwono III dengan ibukota Surakarta, bagian yang lain dikuasai oleh Susuhunan Kebanaran yang sejak itu berganti gelarnya menjadi Sultan Hamengku Buwono I, dengan ibukota Ngayogyakarta.

Sampai di sini perlu dicatat untuk kesekian kalinya betapa hebatnya peranan yang dipegang oleh para gubernur dalam pemerintahan penjajahan Belanda selama ratusan tahun yang silam. Betapa pandainya pimpinan VOC dan para pimpinan pemerintahan Belanda itu mendalangi perang saudara antara para raja dengan cara menyebarkan benih perpecahan secara terus-menerus. Apabila pada jaman Paku Buwono II Gubernur Van Hohendorff menyukai cara agak keras, Gubernur Hartingh yang mendalangi Perjanjian Giyanti selalu mengambil jalan sebagai "juru selamat" atau "duta pendamai",mainnya halus tetapi penuh kelicikan untuk kepentingan VOC.

Cara Van Hartingh membagi Negara Mataram antara dua orang raja yang masih ada hubungan keluarga ini juga merupakan bukti betapa pandai ia melepaskan umpan, dengan tujuan utama agar selalu saja ada benih pertengkaran, agar antara kedua raja jangan sampai terjadi kerukunan. Misalnya ada daerah-daerah yang dimasukkan sebagai wilayah Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, tetapi letaknya terselip di tengah-tengah daerah Surakarta, atau sebaliknya. Tentunya hal seperti ini dalam jalannya pemerintahan sering mempertajam hubungan, dan pada waktu demikian gubernur Belandalah yang akan tampil sebagai pendamai, namun selalu dengan mendapat keuntngan bagi mereka sendiri.

Nama Ngayogyakarta

Bahwa bagian dari Mataram yang dikuasai oleh Hamengku Buwono I diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dengan ibukota Ngayogyakarta, orang bilang ada kisahnya. Maksudnya untuk menghormati suatu tempat bersejarah yaitu Hutan Beringan. Tempat itu pernah merupakan kota kecil yang indah di mana ada istana pesanggrahan, yang dalam sejarah disebut Gardjitawati. Pada jaman pemerintahan Paku Buwono II pasanggrahan ini diberi nama Ngayogya dan dipergunakan sebagai tempat pemberhentian jenazah para raja yang akan dimakamkan di imogiri. Untuk mengabadikan nama itulah ibukota daerah Sultan Hamengku Buwono I diberi nama Yogyakarta.

Soal pemberian nama dan pemilihan tempat untuk ibukota kerajaan di jaman dulu, selalu dipersiapkan secara matang baik lahir maupun bathin. Di jaman raja-raja dulu, membangun Keraton bagi raja selalu diawali dengan penyelidikan seksama mengenai: letak daerahnya, hawa udaranya, kesuburan tanah, keindahannya, keamanannya baik terhadap bencana alam maupun terhadap serangan musuh. Mengingat bahwa Sultan Hamengku Buwono I dalam sejarah selalu dikenal sebagai orang yang pandai serta ahli dalam membangun, tentu juga telah mengadakan pengamatan lahir dan batin sebelum memerintahkan membangun Keraton Yogya sebagaimana yang kita lihat sekarang.

Ambillah contoh bangunan Taman Sari atau Waterkasteel yang terletak di samping barat Keraton. Sepintas lalu tampaknya hanya sebuah tempat istirahat dan hiburan saja. Tetapi barang siapa mau meneliti "istana di atas air" satu-satunya di Pulau Jawa ini, akan menemukan juga di sana jalan-jalan kecil dalam tanah yang menembus ke beberapa jurusan, berbelok-belok sehingga ada yang menembus ke luar kota. Bangunan ini juga dilengkapi dengaj aliran air, dan jika pintu-pintu airnya ditutup maka Seluruh Taman Sari akan berubah menjadi sebuah danau besar, segala yang ada di sekelilingnya akan lenyap dari pemandangan. Dalam keadaan demikian, Keraton dapat dikosongkan dengan mengambil jalan-jalan di dalam tanah.

Jelas di sini pertimbangan dari segi pertahanan dan keamanan telah mendasari pembangunannya. Khusus tentang Taman Sari, berbagai catatan mengatakan bahwa yang membangun adalah seorang berbangsa Portugis. Tetapi gaya Portugis tak dapat ditemukan di dalamnya. Seorang ahli Belanda bernama Prof P.J. Veth dalam bukunya Java telah membantah pendapat tersebut dan menegaskan bahwa Taman Sari benar-benar bangunan bercorak Jawa asli.

Data yang ada menunjukkan bahwa segera setelah Perjanjian Giyanti berlaku, Sri Sultan Hamengku Buwono I menitahkan untuk membangun ibukotanya dengan Keraton sebagai pusat dan permulaan bangunannya. Pembangunan ini dipimpin langsung oleh Raja yang ahli dalam bangunan, sementara ia sendiri memilih bertempat tinggal di Istana Ngambar Ketawang di samping Gunung Gamping, lebih kurang 5 km di sebelah barat ibukota. Pokok dari Keraton yang dibangun ketika itu terdiri dari bangunan-bangunan yang diberi nama berbeda-beda sesuai dengan kepentingannya.

Siapa yang menyangka bahwa hampir 200 tahun kemudian bagian dari Keraton ini dipergunakan untuk kepentingan rakyat banyak? Yaitu ketika atas kehendak Sultan Hamengku Buwono IX mulai dari Pagelaran sampai pada Bangsal Witana dan kanan-kirinya dipakai untuk kepentingan Universitas Negeri Gadjah Mada, perguruan tinggi yang pertama kali dibangun di alam kemerdekaan RI.

*** kembali ke Daftar Isi Tahta Untuk Rakyat ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar