Rabu, 11 Juni 2014

Bab 6 Bisikan Gaib, Tahta Untuk Rakyat

Tahta Untuk Rakyat, adalah buku koleksi ayahku. Buku ini diterbitkan oleh PT Gramedia pada tahun 1982.
Ini buku bercerita tentang Sultan Hamengku Buwono IX, Raja Jogja. Bagi kalian yang membutuhkan, berikut aku ketikkan kembali.
semoga bermanfaat
salam nalasjebang .... merdeka!

Delfaji Amardika

Bab 6
Bisikan Gaib

Sekarang, dengan bekal pengetahuan yang cukup, dengan kemampuan berbahasa Belanda yang meyakinkan, ditambah dengan penegasan kompaknya keinginan para kerabat, pada awal Nopember 1939 dimulailah perundingan antara GRM Dorodjatun dan Gubernur Dr Lucien Adam. Perundingan berlangsung di bawah empat mata dan sifatnya maraton, karena berlangsung setiap hari termasuk hari Minggu, dan diadakan selalu dalam tiga tahap yaitu pagi dari pukul 08.00 sampai 12.00, siang hari dari pukul 15.00 sampai 17.00 dan malam dari pukul 20.00 sampai selesai.

Perundingan tak semudah apa yang mungkin disangka orang, terutama Belanda. Bekas mahasiswa itu ternyata tak begitu saja menerima rumusan yang diajukan oleh pejabat Belanda setengah umur yang kaya akan pengalaman.Di balik wajahnya yang tenang, pemikiran yang mendalam telah mendasari seluruh sikapnya. Mungkin di sini untuk pertama kali tampak adanya hasil nyata dari pendidikannya yang cukup tinggi di dunia Barat yang telah maju. Lebih-kurang lima tahun sebagai mahasiswa di Negeri Belanda dengan pengalaman duduk dalam berbagai organisasi dan klub diskusi membuatnya sangat tanggap dan waspada di meja perundingan. Cakrawala pandangannya pun luas karena dengan mata kepala sendiri ia telah melihat jalannya demokrasi parlementer dan timbulnya pergerakan nasional di mana-mana dan perkembangan politik internasional di Eropa.

Mungkin pula ia pun memetik hasilnya dari pesan ayahanda sebelum berangkat ke Holland yang telah dipatuhinya selama tahun-tahun ia berada di negeri orang. Pesan tersebut pendek, bunyinya hanya: "Selama di Negeri Belanda bukalah pintu hatimu seluas-luasnya. Berupayalah agar kau benar-benar menyelami sifat-sifat orang Belanda, karena di masa depan kau selalu akan berurusan dengan mereka". Ternyata, alangkah besar jangkauan pesan ini ke masa depan Dorodjatun.

Hari demi hari berlalu, perundingan untuk mempersiapkan kontrak politik berjalan seret dan alot. Berkali-kali Gubernur Adam hampir kehilangan kesabaran, apalagi ia telah mulai didesak oleh atasannya di Betawi, sehingga suatu kali ia berucap: "Sayang sekali Baginda Hamengku Buwono VIII sudah tidak ada lagi". Mungkin ia berpikir, andai kata Hamengku Buwono VIII masih ada tentu ia dapat mempengaruhi calon raja yang keras kepala ini.

Usaha nyata dari pemerintah Hindia Belanda untuk menundukkan Dorodjatun ketika itu ialah dengan menggunakan jasa Pepatih Dalem KPPA Danuredjo VIII. Pangeran yang sudah berumur ini diminta mendesak Dorodjatun, karena perundingan telah berlangsung terlalu lama. Atas desakan ini Dorodjatun menjawab: "Kalau Paman yang hendak menjadi Sultan, silakan".

Seretnya perundingan disebabkan oleh buntunya pembicaraan mengenai tiga pokok, yakni yang menyangkut: 1. Jabatan Patih (Pepatih Dalem), 2. Dewan Penasehat dan 3. Prajurit Keraton.
1. Soal jabatan Patih: Kehendak Belanda yang sulit diterima Dorodjatun dalam perundingan ialah bahwa seorang Patih mengemban dwi-kesetiaan, berarti ia mengabdi kepada dua pihak. Seorang Patih adalah pegawai pemerintah Hindia Belanda, sekaligus pegawai Kesultanan dan dilukiskan jelas pada topi pejabat tersebut: separuh berlambang singa Belanda dan separuh lagi berlambang lar praba (sayap bersinar) dari Kesultanan. Kehendak Dorodjatun ialah mengubah dwi-kesetiaan ini, karena sulit diharapkan loyalitas dari orang yang bermajikan dua.
2. Soal Dewan Penasehat: Komposisi Dewan ini sulit juga diterima oleh Dorodjatun karena separuh dari anggotanya diusulkan oleh Gubernur Belanda dan separuh lagi oleh Sultan, sementara yang harus menyetujui calon pihak Kesultanan ini juga adalah Gubernur Belanda. Ketika itu juga diusulkan oleh Dorodjatun agar para anggota Dewan ini mempunyai kebebasan berbicara; tanpa kebebasan bicara ini dirasakan tidak mungkin untuk mewakili kepentingan rakyat. Usul ini ditolak Belanda dan timbul jalan buntu.
3. Soal prajurit Keraton: Kemauan Belanda ialah menjadikan prajurit Keraton sebagai suatu legiun, merupakan bagian dari tentara Hindia Belanda di bawah komando KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda). Pihak Kesultanan tidak dapat memerintah prajurit tersebut, tetapi Kesultanan yang harus menggaji dan merekrut mereka.

Demikianlah pembicaraan antara Dorodjatun dan Dr Adam seakan-akan tak habis-habisnya tanpa menemukan jalan keluar yang memuaskan kedua pihak. Sebulan, dua bulan, tiga bulan berlalu, bulan ke empat pun telah mendekati akhir, dari Nopember 1939 sampai Pebruari 1940, dan kedua orang itu tetap masih berembuk dengan sistem maraton. Kemungkinan besar inilah pertemuan empat mata terpanjang dalam sejarah dan belum juga tampak tanda-tanda akan berakhir.

Gubernur Adam merasa jengkel bercampur malu karena sebagai pejabat berpengalaman tak kunjung dapat menundukkan calon raja yang di hari kemarin saja masih mahasiswa, sementara desakan dari pemerintah pusatnya terus memberi tekanan kepadanya. Di lain pihak Dorodjatun pun gundah, resah dan letih. Segala cara berdiskusi sebagaimana dipelajarinya dalam klub debat di Leiden di bawah pimpinan Prof Schrieke telah habis dipraktekkannya tanpa hasil.

Dr Adam, ahli adat-istiadat Jawa yang ternama itu, sungguh keras seperti batu atau bagaikan tembok yang tak tergoyahkan. Dalam usia yang hampir 28 tahun ketika itu, agaknya Dorodjatun belum pernah merasakan beban yang begitu berat di pundaknya dan tekanan batin yang begitu meresahkan. Dorodjatun menyadari sepenuhnya, sekali ia membuat suatu kesalahan dalam perundingannya yang pertama ini berarti berulang kesalahan raja-raja sebelum dia yang menyebabkan makin lemahnya posisi Kesultanan dan makin berkuasanya pihak Belanda. Pikiran-pikiran berat sekitar ini telah membuatnya sukar tidur pada minggu-minggu terakhir, sementara perundingan maraton selama berbulan-bulan telah menyebabkan keadaan fisik dan mentalnya sangat letih.

Dalam keadaan seperti itulah, ketika pada suatu senja akhir Pebruari 1940 ia sedang berbaring beristirahat menjelang perundingan malam hari, Dorodjatun mengalami sesuatu yang sangat luar biasa. Hari mulai gelap menjelang kira-kira jam 18.00, mungkin ia terlena sejenak, namun tak dapat dikatakan bahwa ia tertidur betul, atau katakanlah ia berada dalam keadaan antara tidur dan bangun, ketika tiba-tiba ia mendengar suara orang berbicara dalam bahasa Jawa: "Tole, tekena wae, Landa bakal lunga saka bumi kene".

Tiba-tiba terjaga sepenuhnya, Dorodjatun tak dapat memahami dari mana suara itu berasal. Ia juga tak tahu betul, apakah ia mendengar suara dari luar dirinya sendiri ataukah ada suatu self-suggestie, yaitu perasaan sendiri yang karena ada tekanan besar lalu muncul dari dalam. Tetapi jika dipikir lebih lanjut, ia jelas mendengar kata Tole (panggilan orang tua terhadap anak lelaki) yang berarti bahwa wisik atau bisikan gaib itu datang dari salah seorang nenek moyangnya sendiri. Apakah suara pria itu suara ayahnya atau salah seorang eyangnya, ia tak dapat memastikan. Namun begitu jelas, walaupun lembut, dan meninggalkan kesan yang mendalam padanya.

Mula-mula Dorodjatun masih diliputi rasa bimbang, hati belum mantap, seolah-olah ia belum tahu bagaimana harus menerima bisikan tersebut. Tetapi anehnya, rasa ragu-ragu makin lama makin berkurang dan pada waktu malam itu ia menginjakkan kaki di kediaman Gunernur Adam untuk melanjutkan perundingan, ia telah benar-benar yakin dan percaya bahwa yang ia dengar tadi adalah bisikan gaib yang datang dari nenek moyangnya sendiri dan isi bisikannya adalah petunjuk berharga untuk dirinya.

Maka malam itu pun menjadi malam pertemuan terpendek sejak perundingan dimulai 4 bulan sebelumnya. Mungkin berlangsung hanya sepuluh menit saja. Sesampai Dorodjatun di ruangan perundingan, berhadapan dengan Gubernur Adam ia hanya berkata pendek: "Silakan Gubernur menyusun kontrak politik itu. Nanti saya tandatangani!" Tidak ada diskusi, tidak lagi ada perdebatan. Begitu selesai, mereka pun pulang.

Dapat dibayangkan betapa terheran-heran Gubernur Adam saat itu. Sudah empat bulan bersilat lidah tanpa mau mundur setapak pun dalam pembicaraan tentang masalah-masalah penting. Tetapi kini, mengapa calon raja ini tiba-tiba merubah sikap? Apakah ini siasat saja? Ataukah ia sekarang memang mau menurut? Demikian mungkin beberapa pertanyaan dalam benak Dr. Adam.

Sejak saat akhir perundingan, dalam waktu hampir dua minggu selesai sudah penyusunan kontrak politik itu dan disiapkan untuk ditandatangani. Kontrak itu dianggap yang terpanjang yang pernah dibuat antara pemerintah jajahan Hindia Belanda dengan raja Mataram, terdiri dari 17 bab berisi 59 pasal. Dibuat dalam bahasa Belanda dengan bahasa dan aksara Jawa di halaman sampingnya (lihat lampiran II).

Kontrak politik ini tanpa lebih dulu diperiksa dan dibaca, ditandatangi begitu saja oleh Dorodjatun sebagai Sultan Hamengku Buwono IX dalam upacara di Tratag Prabayeksa di dalam Keraton, sekitar 12 Maret 1940, seminggu sebelum hari penobatan. Tetapi tanggal yang dicantumkan pada Surat Perjanjian antara Pemerintah Hindia Belanda dan Kesultanan Yogyakarta itu adalah hari penobatan 18 Maret 1940 - saat mulai berlakunya kontrak politik itu.

(Keterangan mengenai saat penandatanganan perjanjian, yang diperoleh dari Sri Sultan dalam suatu kesempatan pengecekan data, samasekali berlainan dengan beberapa tulisan selama ini yang menyebutkan peristiwa itu terjadi pada hari penobatan. Baik surat pengantar Gubernur Adam ketika mengirimkan naskah perjanjian politik itu kepada Sri Sultan maupun surat Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh mengenai pengesahan perjanjian tersebut - seperti dimuat dalam lampiran II-B/E buku ini - menyebutkan 18 Maret 1940 sebagai hari penandatanganan. Menurut Sri Sultan, tanggal yang dicantumkan dalam surat-surat resmi disesuaikan dengan hari penobatan. Sri Sultan mengemukakan pula bahwa hanyalah formalitas belaka ketika Gubernur Adam berkata sesaat sebelum penobatan di Siti Hinggil, "...saya mohon jawaban Tuan, selaku calon Sultan Yogyakarta, apakah bersedia menandatangani perjanjian politik yang telah dibicarakan dengan Tuan selaku penguasa tunggal pemerintahan Keraton dan kemudian Tuan bersedia mengangkat sumpah untuk menepati serta memrintahkan menepati perjanjian tersebut".

(Walaupun penandatanganan perjanjian dilakukan seminggu sebelum penobatan tetapi GRM Dorodjatun membubuhkan tandatangannya sudah sebagai "Sultan Yogyakarta, Hamengku Buwono". Pada dasarnya, dalam kenyataan, ia telah menjabat sebagai Sultan yang baru sejak saat pertemuan informal dengan para kerabat Keraton sekitar 26 Oktober 1939, dua hari setelah pemakaman jenasah Sultan Hamengku Buwono VIII di Imogiri, untuk menanyakan kepada mereka apakah ada yang menginginkan kedudukan sultan, seperti telah dikemukakan pada bagian terdahulu tulisan ini. Penyunting)

Begitu yakinnya Raja muda usia ini akan bisikan gaib yang diterimanya, sehingga ia tidak merasa perlu membaca isi kontrak itu sebagai landasan hubungannya dengan pemerintah Hindia Belanda. Bahkan menurut keterangannya, ia belum pernah membaca isi perjanjian ini sampai sekarang.

Satu pertanyaan dalam hubungan dengan sikap Dorodjatun waktu itu terhadap Belanda adalah: Andaikata perundingan dengan Gubernur Yogyakarta tetap mengalami jalan buntu, dan ia tetap tidak mau mengikuti kemauan Belanda, apa yang kira-kira bakal terjadi? Sultan Hamengku Buwono IX memperkirakan:

Tentunya saya sebagai calon raja akan dicap sebagai pemberontak dan biasanya dibuang. Belanda sering melakukan tindakan seperti itu terhadap raja atau keluarga raja yang "nakal". Atau, mungkin ada di antara anggota keluarga saya sendiri yang dapat "diperalat" Belanda dan dialah yang dijadikan sultan. Tindakan serupa ini pun sering dipraktekkan oleh Belanda dengan cara adu-dombanya yang terkenal.

*** kembali ke Daftar Isi Tahta Untuk Rakyat ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar