Rabu, 11 Juni 2014

Bab 7 Naik Tahta, Tahta Untuk Rakyat

Tahta Untuk Rakyat, adalah buku koleksi ayahku. Buku ini diterbitkan oleh PT Gramedia pada tahun 1982.
Ini buku bercerita tentang Sultan Hamengku Buwono IX, Raja Jogja. Bagi kalian yang membutuhkan, berikut aku ketikkan kembali.
semoga bermanfaat
salam nalasjebang .... merdeka!

Delfaji Amardika

Bab 7
Naik Tahta

Dengan selesainya urusan persiapan perjanjian politik, tinggallah menetapkan hari penobatan. Atas persetujuan pihak Keraton dan pemerintah jajahan Hindia Belanda kemudian ditetapkan peristiwa penting itu akan dilaksanakan pada hari Senin Pon tanggal 8 bulan Sapar tahun Jawa Dal 1871 atau jatuh pada tanggal 18 Maret 1940.

Beberapa hari menjelang penobatan di daerah Kesultanan Yogyakarta telah tampak kesibukan luar biasa, mulai dari jantung kota sampai di kabupaten-kabupaten. Sejak Minggu malam tanggal 17 Maret 1940 bagian-bagian kota yang penting seperti di sekeliling Keraton, di sekitar kediaman Gubernur Belanda, di sepanjang Malioboro, daerah Jetis dan sekitarnya kelihatan terang benderang, dan keadaan ini dinikmati beramai-ramai oleh warga Kesultanan. Kecuali penduduk kota, dari desa pun orang berduyun-duyun datang memasuki kota. Menjelang acara kirab oleh raja baru, rakyat banyak berebut tempat terdepan di sepanjang rute perjalanan Kereta Kencana.

Banyak orang dari kalangan kaum terpelajar ketika itu menaruh harapan besar akan datangnya suatu fajar baru yang akan dibawakan oleh seorang raja berpikiran maju yang konon kabarnya telah menghadapi Belanda dengan sangat tabah. Walaupun sebenarnya orang belum tahu benar bagaimana sikap keseluruhan dari Sultan yang akan dinobatkan beberapa hari lagi itu, tetapi angin segar terasa mulai berhembus.

Angin baru pertama terasa ketika untuk upacara penobatan itu ada dua orang pribumi yang berkecimpung  di dunia surat kabar memperoleh undangan untuk menghadirinya. Hal ini belum pernah terjadi di waktu-waktu yang lalu; biasanya undangan hanya ditujukan kepada pers Belanda. Tak diketahui siapa yang meniupkan angin baru ini, tetapi tulisan salah seorang di antara dua wartawan setempat bernama Bramono dalam sebuah buku peringatan berbahasa Jawa menyebutkan:

"Wonten ing Siti Hinggil ing Bangsal Kentjana kaparingan loenggoeh ing koersi, dados satoenggal kaliyan para bandara lan tamoe tamoe Walandi. Toemrap sedjarah Ngayogyakarta kawontenan waoe pantjen saweg sapisan poenika, sarta kapinoedjon R. Roedjito kaliyan koela (Bramono) ingkang dados papoetjoek. Oetawi dados tiyang ingkang kaping sapisanan ngraosaken doemadosipoen ewah-ewahan kasebut ing nginggil ..."

(Di Siti Hinggil di Bangsal Kencana ini kami diberi tempat duduk di kursi bersama-sama para bangsawan dan para tamu bangsa Belanda. Sepanjang sejarah Yogyakarta, kejadian ini sungguh pantas dicatat karena memang baru pertama kali ini terjadi dan kebetulan R. Roedjito dan saya (Bramono) yang pertama kali mengalaminya atau menjadi orang yang untuk pertama kali boleh merasakan adanya perubahan besar tersebut ...)

Pada pagi hari 18 Maret 1940 itu, semua telah siap menyambut penobatan Raja yang baru. Mulai dari Alun-alun Kidul (Selatan) sampai ke Alun-alun Lor (Utara) tampak pemandangan yang indah dan meriah. Di Bangsal Kencana para tamu dalam pakaian kebesaran masing-masing mulai memenuhi ruangan. Kira-kira jam 10.30 Gubernur Belanda Dr Lucien Adam memasuki Regol Danapertapa dalam pakaian resminya, disambut oleh GRM Dorodjatun yang juga mengenakan pakaian kebesaran.

Mereka sejenak berada di Bangsal Kencana di mana diperdengarkan lagu kebangsaan Belanda "Wilhelmus". Sesudah itu, dengan Dorodjatun di sebelah kiri Gubernur dan didahului oleh prosesi alat upacara Kesultanan, mereka menuju ke Siti Hinggil dan naik ke Bangsal Manguntur Tangkil. Gubernur langsung duduk di kursi kehormatan, sementara Dorodjatun duduk di deret paling depan dalam kelompok para pangeran karena saat itu statusnya pun belum lagi sebagai putra mahkota.

Demikianlah pada hari bersejarah itu Gubernur Adam atas nama pemerintah Hindia Belanda melakukan dua kali penobatan sekaligus.
-- Pertama, tepat jam 11.00 pagi itu menobatkan GRM Dorodjatun sebagai Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibya Raja Putra Narendra Mataram, yakni putra mahkota Kesultanan Yogyakarta.
-- Kedua, lima menit kemudian menobatkan putra mahkota yang baru itu sebagai Sultan Yogyakarta, yang lengkapnya bergelar: Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah Kaping-IX.

Setelah kata-kata penetapan Gubernur diucapkan dan lagu "Monggang" memenuhi ruangan yang sedang diliputi suasana khidmat, salvo senapan pun terdengar memecah keheningan dan dentuman meriam menggelegar tiga belas kali.

Resmilah Dorodjatun menjadi Sultan Hamengku Buwono IX, menggantikan ayahanda yang 19 tahun sebelumnya dinobatkan sebagai Hamengku Buwono VIII di tempat yang sama. Ia lalu dipersilahkan duduk di atas singgasana Kesultanan yang berada di sebelah kanan kursi Gubernur Adam, menghadap ke arah utara. Di sebelah kanan pula ia berjalan  ketika bersama-sama Gubernur melangkah meninggalkan Siti Hinggil selepas upacara penobatan yang megah itu.

Peristiwa ini, dan suasana yang menyertainya, merupakan saat-saat klimaks dalam kehidupan seorang bernama Dorodjatun.

Kecuali suasana indah dan khidmat selama upacara penobatan  masih ada hal lain yang mengesankan semua yang hadir pada umumnya, mengejutkan para pejabat Belanda pada khususnya. Raja muda yang baru dinobatkan itu mengucapkan pidato yang nadanya progresif, antara lain:

"Dat de taak die op mij rust, moeilijk en zwaar is, daar ben ik mij tenvolle van bewust, vooral waar het hier gaat de Westerse en de Oosterse geest tot elkaar te brengen, deze beide tot een harmonische samenwerking te doen overgaan zonder de laatste haar karakter doen verliezen. Al heb ik een uitgesproken Westerse opvoeding gehad, toch ben en blijf ik in de allereerste plaats Javaan. Zo zal de adat, zo deze niet remmend werkt op de ontwikkeling, een voorname plaats blijven innemen in de traditierijke Keraton. Moge ik eindigen met de belofte dat ik de belangen van Land en Volk zal behartigen naar mijn beste weten en kunnen".

(Sepenuhnya saya menyadari bahwa tugas yang ada di pundak saya adalah sulit dan berat, terlebih-lebih karena ini menyangkut nempertemukan jiwa Barat dan Timur agar dapat bekerja sama dalam suasana harmonis, tanpa yang Timur harus kehilangan kepribadiannya. Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, namun pertama-tama saya adalah dan tetap adalah orang Jawa. Maka selama tak menghambat kemajuan, adat akan tetap menduduki tempat yang utama dalam Keraton yang kaya akan tradisi ini. Izinkanlah saya mengakhiri pidato saya ini dengan berjanji, semoga saya dapat bekerja untuk memenuhi kepentingan Nusa dan Bangsa, sebatas pengetahuan dan kemampuan yang ada pada saya).

Sultan Hamengku Buwono IX memulai pemerintahannya dengan kata-kata yang menggambarkan sifatnya yang serius dan lugu.

***

Dalam pada itu perang makin berkecamuk di belahan dunia Barat. Tentara Nazi makin merajalela, membuat cemas banyak negara. Betapa pemerintah Hindia Belanda merasakan makin memuncaknya suasana pada saat itu, terbukti dari kenyataan bahwa ketika Panglima Angkatan Laut Kerajaan Belanda sedang menuju Yogyakarta untuk menghadiri perayaan naik tahta Sultan Hamengku Buwono IX pada 8 Mei 1940, dua bulan sesudah penobatan, tiba-tiba dipanggil kembali. Dan hanya dua hari setelah itu  10 Mei 1940, seluruh wilayah Negeri Belanda diduduki oleh tentara Nazi.

Di kawasan Asia keadaan pada waktu itu tampak seolah-olah masih tenang, walaupun gerak-gerik Jepang sudah sangat mencemaskan. Di wilayah Hindia Belanda keadaan dianggap belum mengharuskan diundangkannya keadaan perang dan darurat perang (Staat van Oorlog en Beleg = SOB), dan kekuasaan tertinggi negara juga masih berada di tangan pemerintahan sipil. Keadaan baru berubah ketika Jepang menyerbu pelabuhan peranf Amerika Serikat Pearl Harbor dan Gubernur Jenderal Belanda Jhr Alidius W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer pada 6 Desember 1941 mengumumkan perang kepada Jepang.

Gubernur Yogyakarta Dr L. Adam yang berada di Jakarta bersama anggota Raad van Indie Ch. O. van der Plas menemui Gubernur Jenderal Tjarda dan mereka bertiga merundingkan tindakan apa yang akan dilakukan apabila Jepang memasuki wilayah Hindia Belanda. Menurut catatan yang ada, pertemuan ini mengambil beberapa keputusan antara lain:
- Kota Bandung akan dijadikan benteng terakhir dan dipertahankan selama mungkin.
- Apabila Jepang datang menyerang, empat kepala kerajaan di Jawa Tengah, terutama Sultan Hamengku Buwono IX dan Susuhunan dari Surakarta, hendaknya ikut dengan Belanda menyingkir ke luar Hindia Belanda yaitu ke Australia.

Ajakan ini ditolak mentah-mentah oleh Sultan Hamengku Buwono IX. Katanya waktu itu: "Apapun yang akan terjadi, saya tak akan meninggalkan Yogya. Justru bila bahaya memuncak, saya wajib berada di tempat demi keselamatan Keraton dan rakyat".

Peristiwa-peristiwa yang kemudian susul-menyusul dengan cepatnya, membuyarkan semua rencana para pemimpin pemerintahan Hindia Belanda. Pendudukan Pulau Jawa oleh tentara Jepang berjalan demikian cepatnya, sehingga sama sekali tak ada kesempatan bagi tentara Hindia Belanda untuk melaksanakan siasatnya mundur memusat ke kota Bandung dan bertahan selama mungkin di kota ini.

Pada 1 Maret 1942 satuan tentara Jepang mendarat di berbagai tempat di Pulau Jawa, pada 5 Maret kota Yogyakarta diduduki  pada 8 Maret, Bandung yang dibangga-banggakan sebagai benteng pertahanan terkuat bagi Angkatan Perang Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada bala tentara Jepang Dai Nippon. Dengan demikian seluruh Pulau Jawa, bahkan seluruh wilayah Hindia Belanda, jatuh ke dalam kekuasaan tentara pendudukan Jepang.

Dalam percakapan dengan Sultan Hamengku Buwono IX, diungkapakan beberapa peristiwa berikut ini:

Penulis: Sekitar ajakan menyingkir ke Australia, ditujukan kepada siapa lagi kecuali Bapak? dan bagaimana dengan cerita lain bahwa ajakan itu tidak ke luar negeri tetapi ke Bandung dan bersama Belanda mempertahankan benteng terakhir itu selama mungkin?

Hamengku Buwono IX: Kalau Belanda mengajak saya, biasanya sekaligus mereka mengajak tiga orang raja lainnya di Jawa Tengah yaitu Sunan Solo, Paku Alam dan Mangkunegoro. Ketika itu saya diajak ke Australia, bukan ke Bandung. Lalu saya jawab: Buat apa saya pergi ke Australia? Apapun yang terjadi, tempat saya adalah di Yogya.

Penulis: Lalu bagaimana reaksi mereka?

Sultan Hamengku Buwono IX: Kami tidak berdebat. Tetapi baru kemudian saya tahu bahwa karena penolakan saya itu Belanda merencanakan untuk menculik saya. Rencana penculikan tersebut akan dilaksanakan melalui instruksi kepada suatu kecamatan di daerah Yogya. Suatu waktu seorang camat menerima instruksi agar menebang semua pohon kelapa antara Yogya dan Wates di area sepanjang kira-kira tiga kilometer. Rupanya pada waktu itu telah ditetapkan bahwa di tempat itu akan didaratkan pesawat terbang berikut sejumlah kesatuan tentara untuk menculik saya. Camat setempat tak dapat berbuat lain selain menuruti instruksi, tanpa memgetahui apa maksud penebangan pohon-pohon kelapa itu.

Peristiwa itu masih mudah dicek, karena yang menjadi camat waktu itu adalah Selo Soemardjan. Penculikan ini gagal hanya karena pada waktu rencana akan dilaksanakan, bala tentara Jepang telah keburu masuk Yogya.

Penulis: Maksud yang jelas dari ajakan ke Australia ini apa?

Hamengku Buwono IX: Tentulah untuk menahan kami, raja-raja, sebagai sejenis "sandera", sesuatu yang telah ditentukan dalam kerangka siasat mereka selanjutnya untuk mempertahankan wilayah Hindia Belanda.

*** kembali ke Daftar Isi Tahta Untuk Rakyat ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar