Kamis, 12 Juni 2014

Bab 8 Jaman Jepang, Tahta Untuk Rakyat

Tahta Untuk Rakyat, adalah buku koleksi ayahku. Buku ini diterbitkan oleh PT Gramedia pada tahun 1982.
Ini buku bercerita tentang Sultan Hamengku Buwono IX, Raja Jogja. Bagi kalian yang membutuhkan, berikut aku ketikkan kembali.
semoga bermanfaat
salam nalasjebang .... merdeka!

Delfaji Amardika

Bab 8
Jaman Jepang

Seperti digambarkan dalam tulisan terdahulu, Sultan Hamengku Buwono IX dapat bersikap sangat tanggap pada saatnya. Untuk selanjutnya nanti akan tampak bahwa pribadinya memang sangat reaktif pada saat yang kritis sebagaimana yang kelihatan jelas pada waktu Yogyakarta diduduki oleh bala tentara Dai Nippon.Peristiwa tersebut terjadi pada 5 Maret 1942, tiga hari sebelum tentara Hindia Belanda menyerah tanpa syarat pada 8 Maret 1942 di Subang, Jawa Barat.

Sultan Hamengku Buwono IX, yang tak menginginkan Jepang langsung memerintah Yogya, mengatakan kepada tentara pendudukan dari negeri Matahari Terbit itu agar segala hal yang menyangkut daerah Kesultanan Yogya dibicarakan terlebih dulu dengan Sultan. Ini adalah langkah pertama yang diambilnya agar ia sendiri dapat langsung memimpin rakyat kerajaannya.

Langkah kedua yang dianggap penting adalah menyingkirkan kekuasaan pemerintahan sehari-hari yang masih ada di tangan Pepatih Dalem. Sebelumnya, pejabat tinggi ini yang merupakan pegawai Kesultanan dan sekaligus pegawai pemerintah Hindia Belanda, bersama Gubernur Belanda menjalankan pemerintahan di daerah Kesultanan. Kepada Pepatih Dalem itu sendiri dikeluarkan perintah agar untuk selanjutnya hanya bertindak atas perintah Sultan.

Karena tanggapnya akan keadaan, langsung memegang kendali pemerintahan seperti dilukiskan tadi, maka Jepang memutuskan untuk mengukuhlan kedudukannya. Dan pada 1 Agustus 1942 Hamengku Buwono IX dilantik untuk kedua kali menjadi Sultan Yogya, kali ini oleh Panglima Besar Tentara Pendudukan Jepang, dilakukan di Jakarta.

Demikianlah Hamengku Buwono IX memerima wewenang dari bala tentara Dai Nippon untuk mengurus pemerintahan Kesultanan yang kini dinamakan Kochi (Daerah Istimewa). Beberapa petunjuk dasar untuk pengurusan Kochi itu kemudian diberikan oleh kepala pemerintahan waktu itu yang disebut Gunseikan (kepala pemerintah militer yang dijabat oleh kepala staf tentara). Ternyata perintah dan petunjuk pemerintahan tentara pendudukan Jepang ini memberi peluang bagi Hamengku Buwono IX untuk lebih aktif memerintah secara langsung di daerahnya. Peluang ini memberi kesempatan baik baginya untuk memecah wewenang yang semula ada di tangan Pepatih Dalem menjadi enam jawatan di tahun 1944, dilebarkan lagi menjadi tujuh jawatan di tahun 1945.

Sementara itu bagi seluruh wilayah ex Hindia Belanda jaman pendudukan Jepang tergores sebagai kurun penderitaan yang amat berat. Di samping serdadu-serdadu Jepang yang bertingkah kasar itu setiap harinya main tempeleng saja kepada penduduk, adalah siasat mereka pula untuk mendapatkan dari daerah yang mereka kuasai segala macam bahan keperluan mereka. Rakyat di daerah yang dikuasai Jepang selalu dituntut untuk menyediakan beras, ternak, juga bahan pakaian sampai intan berlian dan tenaga manusia.Dan adalah kebiasaan tentara pendudukan Dai Nippon untuk mengangkut barang-barang rampasan dari rakyat pada malam hari dengan konvoi kendaraan. Tujuannya ialah: pusat-pusat penyediaan bahan mereka sendiri. Untuk tenaga manusia tujuannya ialah proyek-proyek pembangunan jalan atau lapangan terbang untuk pasukan-pasukan Jepang di berbagai negara di Asia Tenggara. Puluhan ribu tenaga manusia dari daerah-daerah Indonesia yang dipekerjakan sebagai romusa menemui ajalnya.

Apabila daerah-daerah di Indonesia mengalami penderitaan yang luar biasa beratnya karena tuntutan Jepang sebagaimana diceritakan tadi, Yogyakarta boleh dikatakan sedikit lebih mujur. Mengelakkan permintaan Jepang sama sekali tak akan mungkin, tetapi Sultan Hamengku Buwono IX ternyata cukup pandai untuk "mengelabui" tentara pendudukan Jepang.

Akal yang dipakainya adalah "menyembunyikan" angka-angka statistik yang sebenarnya di daerah Yogya, baik yang menyangkut jumlah penduduk, hasil panenan padi ataupun jumlah populasi ternak. Dengan menyusun angka statistik yang palsu ia berhasil menekan angka jumlah padi, ternak atau bahan makanan lain yang diminta oleh penjajah. Ia kemudian malah berhasil meyakinkan kepala pemerintahan pendudukan Jepang di Yogya bahwa daerahnya sungguh minus. Artinya daerah itu tidak mampu menghasilkan bahan pangan dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan penduduk.Pertimbangan yang diberikan antara lain adalah:
-- bahwa wilayah Yogyakarta terlalu sempit;
-- bahwa dalam wilayah yang sempit itu tanah yang dapat ditanami hanya sedikit, karena sebagian selalu tergenang di musim hujan. Sebaliknya ada daerah-daerah lain yang terlalu kering dan tak subur sama sekali untuk pertanian.

Dengan alasan agar wilayahnya dapat membantu menyumbang hasil bumi untuk bala tentara Jepang seperti yang diinginkan, Sultan Hamengku Buwono IX berdiplomasi agar diberi bantuan dana untuk membangun sarana irigasi. Tak disangka-sangka ia berhasil. Ia memperoleh dana dari pemerintah pendudukan Jepang untuk:
-- membangun saluran dan pintu air untuk mengatur air hujan dari daerah tergenang ke laut, terutama di daerah Adikarto sebelah selatan;
-- membangun saluran-saluran untuk mengalirkan air dari kali Progo ke daerah kering alias kekurangan air di daerah Sleman ke arah timur.

Saluran dan pintu air yang dibangun itu kemudian dikenal dengan sebutan "Selokan Mataram"; dalam bahasa Jepangnya yang satu dinamakan Gunsei Hasuiro, dan yang lain Gunsei Yosuiro. Kedua proyek saluran ini pada waktu itu mampu membantu wilayah Yogya untuk menekan kekurangan pangan, walaupun sebaliknya beberapa persen dari hasilnya harus disetorkan untuk keperluan bala tentara Jepang.

Manfaat lain yang dapat dipetik dari pembangunan proyek saluran ini ialah terhindarnya ratusan sampai ribuan warga Yogya dari panggilan menjadi Romusa. Pembangunan saluran sepanjang puluhan kilometer dan harus dilengkapi pula dengan pembangunan berbagai bangunan umum seperti bendungan, tanggul, jembatan dan lain-lain memerlukan banyak tenaga dan inilah yang dipakai sebagai alasan oleh Hamengku Buwono IX untuk menolak perintah pengiriman penduduk untuk dijadikan romusa.

Pandangan dan perasaan Sultan Hamengku Buwono IX tentang keadaan pada masa pendudukan Jepang lebih jauh dikemukakan berikut ini:

Penulis: Bagaimana perasaan Bapak terhadap pendudukan Jepang sejak mula?

Hamengku Buwono IX: Entah mengapa, tetapi saya merasa bahwa kedatangan Jepang serta pendudukan mereka di negeri ini hanya sebentar. Mungkin sesuai ramalan Jayabaya, seumur jagung. Periode ini sejak mula saya anggap sebagai masa interim belaka.

Penulis: Percayakah Bapak akan janji-janji mereka yang katanya sebagai "saudara tua" akan memberi kemerdekaan pada Indonesia?

Hamengku Buwono IX: Saya tidak pernah percaya, tak sedikitpun. (Suaranya tegas sekali sambil menggelengkan kepala).

Penulis: Bagaimana sikap Bapak selama pendudukan Jepang?

Hamengku Buwono IX: Boleh dikatakan selalu agak tegang. Saya banyak mengajukan protes atas perlakuan Jepang terhadap penduduk di daerah saya. Untuk ini saya sering diberi teguran di Jakarta, yaitu pada kesempatan para raja Jawa Tengah dipanggil oleh pimpinan pemerintah militer Jepang (Saiko Shikikan). Setelah acara instruksi kepada semua raja selesai, biasanya saya dipanggil tersendiri dan diberi peringatan.

Penulis: Apakah Bapak pernah dibujuk untuk lebih bersikap menurut? Beberapa tulisan menyebutkan, Bapak pernah ditawari untuk menjadi Raja Jawa, asalkan mengikuti kehendak Jepang. Betulkah ini?

Hamengku Buwono IX: Itu tidak benar. Saya tak pernah ditawari Jepang hal-hal semacam itu. Mereka hanya pernah meminta kepada saya untuk mengadakan perjalanan keliling di berbagai daerah di Jawa. Mungkin melalui saya mereka ingin memetik manfaat. Tetapi saya rasa, mereka tak mendapat manfaat apa-apa dari kedatangan saya di daerah.

Penulis: Apakah selama jaman pendudukan Jepang ini Bapak pernah berhubungan dengan Bung Karno, Bung Hatta atau orang-orang lain yang ketika itu muncul di cakrawala perjuangan bangsa?

Hamengku Buwono IX: Mula-mula tak pernah sama sekali. Saya pun sedikit-banyak menjaga agar saya jangan sampai "diadu" oleh Jepang dengan Bung Karno dan kawan-kawan.

Penulis: Sebenarnya kapan Bapak untuk pertama kali bertemu dengan Bung Karno, dan bagaimanakah suasana pertemuan itu?

Hamengku Buwono IX: Saya tak ingat betul tahunnya, tetapi Jepang telah beberapa lama di Indonesia, untuk pertama kali saya bertemu Soekarno. Ketika itu ia mampir di Yogya dalam perjalanan kelilingnya di Jawa Tengah. Dan pertemuan itu sifatnya perkenalan biasa, tidak ada pembicaraan apa-apa.

*** kembali ke Daftar Isi Tahta Untuk Rakyat ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar