Kamis, 12 Juni 2014

Bab 9 Proklamasi Kemerdekaan, Tahta Untuk Rakyat

Tahta Untuk Rakyat, adalah buku koleksi ayahku. Buku ini diterbitkan oleh PT Gramedia pada tahun 1982.
Ini buku bercerita tentang Sultan Hamengku Buwono IX, Raja Jogja. Bagi kalian yang membutuhkan, berikut aku ketikkan kembali.
semoga bermanfaat
salam nalasjebang .... merdeka!

Delfaji Amardika

Bab 9
Proklamasi Kemerdekaan

Kedengarannya mungkin irasional dan tak ilmiah, namun berulang kali Sultan Hamengku Buwono IX menegaskan betapa besar arti wisik atau bisikan gaib dari nenek moyangnya bagi dirinya. Sebagaimana telah diceritakan, wisik itu diterimanya pada akhir Pebruari 1940 ketika ia sedang menghadapi ujian berat dalam hidupnya. Dan untuk selanjutnya bisikan tersebut benar-benar merupakan sikap dasar dalam menghadapi perkembangan keadaan.

"Wisik itu adalah sumber dasar bagi saya! Saya yakin dan percaya penuh bahwa petunjuk dari nenek moyang saya itu benar dan harus saya ikuti. Maka oleh karena itu, orang akan mengerti sikap saya selama seluruh jaman Jepang dan lahirnya Republik Indonesia", demikian dikatakan dengan tegas.

Sampai di sini teringat kita pada kesan di awal tulisan ini bahwa Hamengku Buwono IX adalah orang yang hidup di dua dunia. Dalam dunia yang pertama ia adalah Raja dalam arti kata sebenarnya, hidup di Keraton yang penuh tradisi berdasarkan adat-istiadat yang telah berjalan ratusan tahun, di mana berbagai jenis pusaka masih diagungkan, berbagai larangan masih ditegakkan dan hanya dapat dimengerti melalui jalan mistik, dan hubungan dengan leluhur pun tidak mustahil.

Di dunia yang kedua ia adalah seorang berpikiran progresif, pendidikan Barat telah membuatnya menjadi bersikap demokratis, terbuka terhadap hal-hal baru dan gagasan pembaruan. Ia sendiri bahkan telah melaksanakan beberapa pembaruan sejak naik tahta, misalnya penghapusan Pengadilan Darah Dalem yang digantinya dengan proses pengadilan biasa. Ia pun telah mempraktekkan demokratisasi melalui pemberian otonomi di kabupaten seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta sejak akhir jaman pendudukan Jepang. Langkah-langkahnya ini membuktikan bahwa ia adalah seorang pembaharu, sebagian berdasarkan pola yang telah disusunnya sejak ia masih menjadi mahasiswa di kota Leiden dulu.

Sementara itu ketika di Yogya ia mendengar untuk pertama kali tentang proklamasi kemerdekaan RI yang dinyatakan oleh Sukarno-Hatta, hatinya benar-benar lega "Nah ini dia yang kutunggu-tunggu", katanya waktu itu. Dugaannya bahwa dengan perginya si penjajah "berkulit kuning berbadan cebol setelah berkuasa hanya seumur jagung di Indonesia", seperti dapat diikutinya dari ramalan Jayabaya, akan terjadi sesuatu yang besar, yang jangkauannya jauh ke depan, ternyata benar.

karena itu tanpa ragu-ragu sedikitpun, sehari setelah proklamasi kemerdekaan RI, yaitu pada 18 Agustus 1945 Hamengku Buwono IX langsung mengetok kawat kepada kedua proklamator Sukarno-Hatta dan kepada dr KRT Radjiman Wediodiningrat, ketua Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan. Dengan spontan ia mengucapkan selamat atas terbentuknya negara Republik Indonesia.

Dua hari kemudian, 20 Agustus 1945, kembali ia mengirim telegram, kali ini dalam kedudukannya sebagai Ketua Badan Kebaktian Rakyat (Hokokai) Yogyakarta dan ditujukan kepada Presiden serta Wakil Presiden RI yang pertama.Dalam telegram ini secara spontan ia menyatakan "sanggup berdiri di belakang pimpinan" mereka. Kedua pernyataan per kawat ini diikuti oleh pernyataan yang sama dengan jalan yang sama dari Paku Alam.

Beberapa minggu kemudian, ketika di Yogya atas anjuran pemerintah pusat telah dibentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) daerah Yogyakarta, atas persetujuan komite itu dikeluarkan amanat Sultan Hamengku Buwono IX pada 5 September 1945. Amanat itu, seperti dimuat dalam lampiran 1 buku ini, terdiri atas tiga pokok yang ringkasnya adalah:

PERTAMA : Ngayogyakarta Hadiningrat berbentuk kerajaan yang merupakan Daerah Istimewa, bagian dari RI.
KEDUA : Segala kekuasaan dalam negeri dan urusan pemerintahan berada di tangan Hamengku Buwono IX.
KETIGA : Hubungan antara Ngayogyakarta Hadiningrat dengan pemerintah negara Republik Indonesia bersifat langsung dan Sultan Hamengku Buwono IX bertanggung-jawab langsung kepada Presiden RI.

Demikian surat pernyataan itu, yang disambut positif oleh pemerintah pusat. Keesokan harinya, 6 September 1945, dua utusan dari pemerintah pusat -- para Menteri Negara Mr. Sartono dan Mr. A.A. Maramis -- datang di Yogyakarta untuk menyampaikan PIAGAM PENETAPAN mengenai kedudukan Yogyakarta dalam lingkungan RI yang ditandatangani oleh Presiden Sukarno. Piagam ini rupanya sudah agak lama disiapkan di Jakarta, tertanggal 19 Agustus 1945 atau berarti sehari setelah dikirimkan kawat ucapan selamat yang pertama dari Hamengku Buwono IX kepada Sukarno-Hatta. Piagam itu menyatakan:

Kami Presiden Republik Indonesia, menetapkan:

Ingkan Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Abdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang kaping IX ing Ngayogyakarta Hadiningrat, pada kedudukannya dengan kepercayaan bahwa Sri Paduka Kanjeng Sultan akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga untuk keselamatan daerah Yogyakarta sebagai bagian Republik Indonesia.

Jakarta, 19 Agustus 1945
Presiden Republik Indonesia
ttd
Soekarno

Piagam tersebut sesungguhnya adalah tanda kepercayaan Republik Indonesia kepada Hamengku Buwono IX, dan satu keputusan yang tepat karena ketika Republik muda ini menghadapi berbagai ancaman dari musuh ternyata Hamengku Buwono IX dan kota Yogya menampilkan diri sebagai pendukung dan penyelamat yang tangguh.

Urutan kejadian sebagaimana dilukiskan di atas ini menunjukkan betapa tegas dan positif sambutan Hamengku Buwono IX terhadap lahirnya Republik Indonesia, walaupun sebelumnya ia tak pernah berhubungan dengan Sukarno-Hatta dan kawan-kawan. Agaknya, sama sekali tak ada keraguan padanya akan hari depan Republik baru ini. Kemantapan hatinya itu juga tercermin dari pidato radio yang pernah diucapkan pada awal kemerdekaan yang bunyinya antara lain:

Proklamasi kemerdekaan ini tak akan hanya diucapkan dengan kata-kata saja, melainkan akan diwujudkan dengan perbuatan.Perbuatan-perbuatan untuk membuktikan bahwa bangsa Indonesia tidak hanya ingin dan mau, akan tetapi juga dapat dan tahan memiliki kemerdekaan. Nasib Nusa dan Bangsa adalah di tangan kita, tergantung kepada kita sendiri.
Maka tiada kecualinya kita harus bersedia dan sanggup mengorbankan kepentingan masing-masing untuk kepentingan kita bersama ialah menjaga, memelihara dan membela kemerdekaan Nusa dan Bangsa. Tiap-tiap golongan harus sanggup mengesampingkan kepentingan, sanggup untuk mencapai persatuan yang bulat dan kokoh, sehingga bangsa Indonesia bisa mendapatkan senjata untuk mempertahankan republiknya; agar dapat mempertanggung-jawabkannya pada generasi-generasi bangsa Indonesia yang akan datang, dan agar dapat membuat sejarah yang gemilang ...

Untuk lebih maklum akan kedudukan dan kelangsungan hidup Kesultanan Yogyakarta ini, berbeda dengan daerah swapraja lainnya, dapat pula diikuti uraian yang dikemukakan Mr Sudarisman Purwokusumo dalam tulisannya yang menyatakan:

UUD '45 pasal 18 menegaskan bahwa pembagian daerah Indonesia atas dasar besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Penjelasan resmi UUD '45, khusus yang bertalian dengan pasal 18, menyebutkan: Dalam wilayah Negara Indonesia terdapat 250 zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang istimewa.

Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah itu akan mengingat hak-hak asal-usul daerah tersebut. Dari pasal dan penjelasan UUD '45 itu para pendiri Republik waktu itu ingin menjaga keseimbangan politik dan sangat sadar atas wilayah yang dulunya bernama Hindia Belanda. Namun akan ternyata bahwa proklamasi kemerdekaan segera diikuti oleh arus revolusi. Semua swapraja tergilas oleh roda revolusi, kecuali swapraja Kesultanan dan Pakualaman yang segera setelah proklamasi bersatu menyambut dan menyatakan diri sebagai bagian dari Republik Indonesia.

Selama revolusi fisik beberapa kali memang ada percobaan untuk menghapus Kesultanan Yogyakarta dan Pakualaman, tetapi tidak berhasil. Ini antara lain disebabkan karena kedua pemegang kekuasaan swapraja ini sangat tanggap terhadap perubahan politik dan pemerintahan yang ditimbulkan oleh proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dalam suasana pergolakan biasanya kedua raja tersebut dapat menentukan posisinya dan menempatkan diri sebagai ahli waris kerajaan terhormat di Jawa yang sejak di jaman Hindia Belanda pun tak henti-hentinya mengadakan perlawanan terhadap penjajah dan berusaha mengusir mereka dari Bumi Kesultanan, demikian uraian Mr Sudarisman Purwokusumo.

*** kembali ke Daftar Isi Tahta Untuk Rakyat ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar